Serangan kejut terjadi ketika manik mata Shinta menatap ke arah jam dinding di hadapannya. Masih dalam posisi duduk di atas ranjang dan menghempaskan selimut kesayangannya itu ke samping, Shinta mengerjapkan matanya berulang kali, berharap bahwa matanya telah salah mengenali angka yang saat ini ditunjuk oleh jarum pendek jam tersebut.
"Argh ... mati gua...."
"Terlambat!"
Shinta mengacak-acak rambutnya frustasi, sambil menendang-nendang kasur dengan kedua kakinya karena kesal. Dia berteriak dan meronta-ronta seperti orang yang sedang kesurupan!
"Ada apa, Shinta?" Suara lembut yang cemas datang dari arah pintu yang saat ini sudah sedikit terbuka. Terlihat sosok wanita berperawakan empat puluh tahunan muncul dari celah, mengintip dari arah luar untuk menanggapi anaknya itu.
"Ibu... bagaimana ini ... mengapa tidak ada yang membangunkan aku? Padahal kan hari ini aku sudah masuk sekolah, Bu?" Shinta berkata dengan ekspresi melas di hadapan ibunya.
"Loh, kata kakakmu hari ini kamu ga jadi masuk sekolah, makanya ibu ga boleh bangunin kamu." Sang ibu menjadi linglung dengan apa yang terjadi, sebenarnya anaknya itu sudah masuk sekolah atau belum? Apa Roma membohonginya?
"Ibu... kan Shinta udah bilang tadi malam, besok Shinta udah masuk." Dia meringkuk di atas ranjang dengan posisi membelakangi sang ibu, dia masih merasa kesal karena tidak dibangunkan pagi ini.
"Yasudah, kamu sekarang makanya cepat mandi terus makan, ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu, tuh. Ibu juga ga tau kalau kakakmu itu bohong sama ibu." Sang Ibu beranjak mendekati Shinta dan mengelus rambutnya dari belakang. "Ayo ga papa, mandi terus makan. Nanti biar ibu yang bilang sama gurumu."