Senandika

Salsabila Octavia Ismail
Chapter #1

Bab 1

Minggu, pukul 21.00 

Oktober 2018

“Kakek, malam ini aku menginap lagi di apartemen apa tidak masalah? Saya takut jika kehadiran saya ini justru merepotkan banyak orang terutama Tante Fitri dan Joel.” 

“Rupanya kau belum bisa menerima Joel sepenuhnya jadi paman mu ya?” berkata lirih sambil tertawa kecil, namun jelas terdengar oleh ku. Sontak membuatku tersadar bahwa baru saja aku menyebut nama orang itu tanpa sebutan paman. 

“Ah, begitu lah.” Malu sekali mengakui hal memalukan ini di hadapan Kakek, hanya bisa menundukan kepala seperti aku lah yang memang paling bersalah. Bahkan setelah dua tahun belakangan ini aku belum bisa menerima Joel sepenuhnya sebagai paman. 

“Jangan berpikiran yang tidak akan terjadi, serta ingatlah selalu bahwa kau pantas untuk bahagia Embun.” Kakek menjawab dengan takzim, bahkan senyuman itu sangat bersahabat dengan diriku saat ini. Senyuman itu tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Juga beliau lah yang selalu ada untukku dalam segala keadaan dan sabar untuk memberikan nasihat berharga. 

“Ada satu hal lagi yang perlu kakek sampaikan padamu, ingatlah kalimat ini ya. Joel adalah orang yang baik, walaupun terkadang memang menyebalkan, juga kebiasaan buruknya memamerkan hartanya di hadapan banyak orang. Dia terlalu bangga atas apa yang ia capai, yang sebelum nya dirinya juga bukan siapa-siapa.” 

“Ya, mungkin saja saat ini dia memang sosok yang menyebalkan namun entah untuk kedepannya. Saya tidak bisa menduga suatu hal yang belum pasti, tepat seperti ucapan Kakek bahwa saya tidak perlu menduga hal yang belum tentu akan terjadi. Benar begitu bukan?” ya, aku hanya bisa tersenyum. Dan jawaban Kakek hanya anggukan kepala saja, itupun sudah menjelaskan segala nya. 

Suasana lenggang sejenak, rupanya hal ini tepat untuk memberikan sedikit ruang bagiku  menenangkan diri. Bahkan Kakek yang berada di samping ku memilih untuk diam dan menikmati perjalanan menuju rumah. Rumah nya tidak terlalu jauh dengan rumah orang tuaku yang berada di Jakarta Timur. Dan Kita saat ini sedang menuju ke rumah melawati Bekasi Kota, sekedar untuk menikmati udara malamnya Kota Bekasi melalui jendela mobil tua yang sengaja ku buka. 

Kata Kakek, mobil ini sudah sangat tua, namun bagiku mobil ini lah yang menjadi candu bagiku untuk menaiki nya kembali. Holden Kingswood keluaran generasi pertama, menarik, warna merah cerahnya membuat siapa pun yang melihat pasti akan jatuh hati pada mobil tua ini. Aku pernah bertanya padanya, mengenai kapan dan apa yang menyebabkan Kakek memiliki mobil tua ini. Namun hanya dijawab dengan senyuman saja, dan berkata bahwa masa lalu tidak selamanya menjadi kenangan yang dapat diceritakan. 

“Boleh saja jika ingin mengenangnya menjadi sebuah kenangan terindah, namun bagi Kakek kenangan apa pun itu wujudnya tetap lah masa lalu. Dan tidak selalu dapat menjadi bahan cerita, walaupun itu kenangan indah sekalipun. Kakekmu ini ingin egois dalam mengenang masa lalu nak, biarkan masa itu terkenang oleh ku seorang diri.” Jawabnya dengan takzim, tatapannya selalu menatap lurus ke depan setelah mengucapkan beberapa kalimat yang terdengar sangat bijak. 

Mengenang hal itu sambil menatap jalanan yang semakin malam semakin jarang kendaraan yang lalu lalang. Udaranya masih terasa sejuk, saat dua jam sebelum pergi ke Bekasi ternyata sempat hujan walaupun sejenak. Sehingga udara malam bercampur dengan hawa dingin selepas hujan sangat menenangkan. Ku tatap langit terang, bahkan tanpa awan sama sekali, juga rembulan di atas sana menerangi malam ini dengan sempurna. Tersadar, bahwa bentuk bulan tidak selalu sama tiap harinya. Pikiran ku melayang entah akan sejauh apa membayangkan sesuatu yang sebenarnya aku pun tidak tahu persis apa yang aku pikirkan. Sepertinya lebih baik aku istirahat sejenak, sebab masih ada waktu lima belas menit lagi yang kemudian mobil ini akan terparkir dengan gagahnya di garasi.

Ah, sial! Tidak ada genap lima menit untuk tidur, dan tiba-tiba ada sesuatu yang akan kupertanyakan pada Kakek. Anggap saja pertanyaan ini nantinya akan menjadi hal penting dan serius untuk dibicarakan. 

“Kakek.” Apakah beliau sudah tertidur? Pikirku begitu saat sebelum panggilan dariku terjawab. 

“Ada apa, Nak?” yang benar saja, bagaimana bisa aku berbincang banyak hal sedangkan beliau setengah tidur. 

“Aku..ingin.. bicara.” Gugup sekali rasanya setiap kali mengawali pembicaraan oleh orang lain, kakek sendiri sekalipun. 

“Katakanlah, aku akan tetap pada posisi berbaring bersandar pada kursi ini. Tenang saja sebab kakekmu ini tidak benar-benar tidur. Jadi kau leluasa untuk bertanya, dan ingat satu hal, delapan menit lagi kita tiba di rumah. Itu salah mu, nak, membuang waktu dua menit untuk berpikir terlebih dahulu.” 

Mendengar jawaban Kakek, tak terasa mulutku kali ini benar-benar tersenyum. Aku lupa kapan terakhir kali tertawa dan tersenyum saat bersama dengan orang tuaku dan kedua kakakku. 

“Anu...Apakah bentuk bulan selalu tampak sama tiap malamnya?  Bagaimana menurut Kakek?” Sungguh, aku tidak tahu kenapa pertanyaannya itu yang terlontarkan dari mulut ku tanpa beban. Bebas dan lancar terucapkan seperti hal itu yang memang harus aku pertanyakan.

Lihat selengkapnya