Bab 2
Ah, aku tahu, tidur kembali setelah sholat Subuh itu tidak baik. Menghalangi rejeki jika kata orang tua, ya memang lebih baik tidak tidur lagi. Namun rasa-rasanya tubub ini terlalu lelah dan ingin tidur lagi. Ku pikir satu jam saja sudah lebih dari cukup. Saat ini pun aku tidak tahu seberapa lama tidur ku tadi, ku rasa hanya tigapuluh menit saja. Juga sepertinya tubuhku sudah tidak lagi sakit seperti bangun tidur, ya, namun pikiranku masih melayang. Mungkin beginilah rasanya abadi di alam bawah sadar, ah sial, nyaman sekali tidur ku ini.
Namun sayup-sayup terdengar suara bisikan ditelinga, seperti ada sosok lelaki yang menyuruhku untuk segera bangun. Ku harap ini mimpi, dan sosok yang sedang memanggil namaku terus-menerus tidak lain adalah seorang pangeran dari Negeri Pelangi. Ah, bahkan aku tidak tahu Negeri Pelangi itu seperti apa, biarlah aku seperti ini, aku ingin tidur lebih lama lagi.
Oh, ya Tuhan, apakah aku sedang mimpi indah pagi ini? Seorang Prince membelai rambutku serta memanggil namaku dengan nada begitu lembut. Semakin tidak ingin bangun dari tidur pagiku ini, demi Pangeran, ya, hanya demi dirinya yang tampak sempurna. Saat berusaha untuk menghadirkan sosok Prince itu dalam khayalan ku, tiba-tiba saja kepala ku seperti terbentur benda. Tidak sakit sepertinya, hei? Apa itu tadi?
Sontak hal itu membuatku terbangun dan sadar. “This is be mine, so, jangan ada yang memainkannya okay. It is the special gift from my boyfriend.”
“Come on baby. Kau memeluknya seperti tidak ingin dipisahkan dan ekspresi mu persis seperti bocah sd yang baru saja mendapatkan mainan baru.” Ledeknya. Bahkan tawa nya itu seperti benar-benar sedang meledekku.
“By the way, kau sangat mengganggu tidur ku bang dan di mana Kak Bagas? Tidak lihatkah jam di dinding itu, ini masih pagi dan aku akan segera bangun ketika pukul sebelas siang.” Ya, aku memang belum sepenuhnya bangun. Dengan lemas ku tunjuk jam itu dengan jari
“Rupanya, adikku yang paling cantik sedunia ini mulai gila. Kau kira ini masih pagi, hm? Lihat! Sekarang sudah sangat siang hampir pukul sebelas, dan sekarang lebih baik bangun lalu bersihkan tubuhmu. Setelah itu antar abang dan Kakek ke lobi untuk menunggu jemputan, kami ingin pulang karna ada suatu urusan di rumah.” Perkataan itu sontak membuatku terperanjat, terkejut. Antara percaya atau tidak, ternyata tidurku memang sangat lama hingga tak sadar bahwa ternyata mentari sudah sangat terang.
“Oh, okay. Baiklah, aku akan segera menemui kalian di ruang tengah dan akan ku antar menuju lobi.” Menguap sembari berjalan menuju kamar mandi dengan keadaan masih sangat mengantuk.
“Good. Aku dan Kakek akan menunggu mu, jadi, segeralah Embun. Kau juga harus sarapan setelah mengantar kami, ada makanan di dapur dan tadi Bunda serta Ayah menyampaikan permintaan maaf karna harus lekas pulang tanpa pamit padamu. Semoga teriakanku cukup keras sehingga kau dapat mendengarnya dengan jelas, aku menyayangi mu adik kecil. Mandi yang bersih dan pakailah busana yang rapi.” Entahlah, semoga aku mendengar semua ucapannya karna sebenarnya aku sudah berada di depan cermin kamar mandi.
Ku tatap sekilas wajah yang kini tengaj ku tatap, yang pada waktu bersamaan dirinya pun sedang memperhatikan diriku. Pantulan diriku sendiri dari cermin itu, seperti bukan diriku yang asli. Banyak sekali perubahan, dari rambut yang dulu saat masih berusia limatahun kurang lebihnya, saat itu rambutku sangat panjang dan lurus. Wajah ceria penuh canda tawa, selalu tersenyum di setiap saat, berteman dengan siapa saja. Kini, diriku hanyalah manusia yang tidak lain seperti yang lainnya. Mengejar apa yang diinginkan bersama dengan langkah penuh ambisi yang begitu besar dan juga kuat. Tiada satupun yang dapat mengatur, namun bukan berarti tak dapat mengikuti aturan. Aku hanya ingin diberikan seluruh kepercayaan itu, dan aku akan melakukannya sebaik mungkin.
“Sebaiknya aku segera membersihkan badan. Percayalah Embun, kelak semua ini akan berakhir, kau hanya perlu menunggu waktu mainnya saja.”
***
Tampak jelas sekali wajah frustrasinya saat sedang sendiri seperti itu, terkadang ia pun harus menangis. Embun tetaplah manusia biasa yang tidak lmungkin tidak merasakan sedih, kacau, dan depresi. Ada saatnya ia berubah menjadi sosok wanita sekaligus anak yang lemah, butuh dukungan, dorongan dari keluarga dan juga saudara.
Namun ia sadar, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangisi hal yang membuat dirinya semakin kacau berantakan tak tertata, bahkan tampak tak berdaya. Ya, belum saatnya. Embun tahu kapan ia harus mengakhiri semuanya, namun tetap saja, segala hal yang menyakitkan ini perlu dipasrahkan. Biarlah Tuhan yang mengatur segalanya, manusia bisa saja berencana namun tidak mengatur dan memilih jalan takdirnya.
Yang harua ia lakukan saat ini hanyalah bersikap tenang dan sabar dalam, serta memikirkan banyak hal untuk menyelesaikan masalah. Sebab, dirinya sangat sadar diri, tidak ada yang lebih baik sebagai tempat mengadu selain Tuhan. Bahkan ingin mengadu pada kedua saudara kandung nya tak sanggup. Bagaimana bisa? Semua media sosial yang ia miliki pun menjadi korban kekacauan ini, ia memutuskan untuk menutup seluruh akun yang dimiliki. Walaupun sebelumnya dikenal banyak orang adalah hal yang menyenangkan, namun kini sadar bahwa sosial media saat ini sudah tidak wajar lagi.
Kontak whatsapp yang digunakan untuk media komunikasi pun hanya berisikan keluarga dekat, dan kedua sahabatnya saja. Bahkan ia lupa juga tidak yakin bahwa kontak Bundanya sendiri masih tersimpan baik atau telah dihapus.
Saat ini, bukanlah waktu yang tepat untuk merasakan rasa sakit itu yang bahkan terasa seperti deja vu. Yang terus berulang beberapa kali hingg tidak ingat kejadian itu telah terulang keberapa sekian kali. Yang perlu dilakukan saat ini adalah membersihkan diri dan berdandan untuk segera mengantar Baskara dan Kakek. Ya tugasnya hari ini cukup mudah dan ringan, tidak perlu berpikir keras seperti saat memikirkan bagaimana caranya untuk menyelesaikan masalah dan ketakutan pribadinya.
***
Hanya membutuhkan waktu limabelas menit untuk semuanya, dan kini lihatlah diriku sendiri di pantulan kaca itu. Diriku terlihat makin cantik tiap harinya, ah iya, persetan dengan muka tanpa make up yang kebanyakan kata orang wajahku tampak pucat jika tidak dipoles sedikit riasan. Aku tidak terlalu suka bergelut dengan alat untuk berdandan, anggap saja tidak ada waktu untuk hal kurang penting itu.
“Cukup menarik penampilan ku saat ini. Cantik.” Ya, kurasa satu kata itu adalah suatu kata kunci yang di mana penampilan seorang wanita dinilai dari penampilan nya yang bagus dan menarik. Tapi sungguh, sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Bagiku, apapun yang digunakan selagi itu nyaman dan membuat percaya diri sudah suatu hal yang lebih dari cukup.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar yang seperti nya dari intonasi suaranya seperti sudah tidak sabar lagi untuk menunggu. “Dasar, lelaki memang tidak bisa sedikit lebih bersabar.” Batinku.