Jika pernikahan adalah ladang pahala, kenapa jalannya penuh luka?
RUANGAN itu terasa sempit. Bukan hanya karena luasnya yang memang terbatas, tapi juga karena udara yang berat di antara mereka. Dinding kamarnya yang tipis dan catnya pun sudah terlihat usang. Selain itu, ada beberapa triplex yang mengelupas di setiap sudutnya, bahkan kipas angin tanpa ring penutup itu masih digunakan—di pojok ruangan yang sudah berdengung pelan. Seolah-olah hanya menunggu ledakan yang akan segera terjadi.
Hari sudah gelap, Ferry duduk tepat di hadapan Sena yang sedang bersantai sambil meluruskan kakinya. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, sesekali jarinya menari pada layar ponsel dan kemudian senyumnya mulai tergambar. Ferry menatap istrinya dalam, napasnya berat, dan matanya merah.
“Lo tau nggak apa yang udah lo lakuin?” suara Ferry rendah, tapi bergetar menahan emosi.
Sena tertawa kecil, tanpa humor. “Kenapa emangnya?”
Ferry mengambil paksa ponsel Sena dan melemparnya ke kasur dengan kasar. “Lo main dating apps, Sen. Lo flirting sama cowok-cowok nggak jelas. Lo pikir itu nggak masalah?”
Sena mengangkat bahu, santai. Senyum di wajahnya tetap sama—sinis dan kosong. "Buat lo itu masalah?"
Ferry menggelengkan kepalanya, nafasnya memburu. "Gue nggak percaya ini, Sen... Gue nggak nyangka lo sebrengsek ini!"
Sena membenarkan posisi duduknya, matanya menatap tajam pada Ferry, "Brengsek? Jadi sekarang gue brengsek?"
Sena tertawa sinis, "Lo tuh lebay, Ferry!"
"LO MAIN DATING APPS, SENA! LO FLIRTING SAMA LAKI-LAKI LAIN, LO JUGA TERIMA DUIT DARI MEREKA. INI APAAN? LO NGEJUAL DIRI SEKARANG?!" Nada Ferry meninggi. Rahangnya terlihat mengeras.
Sena mendengus, berusaha meredam rasa sesak di balik sikapnya yang defensif. "Gue nggak ngejual diri. Mereka yang ngasih gue uang karena mereka mau, bukan gue yang minta.
Ferry tertawa pahit, matanya berkilat marah, "Oh, jadi gitu cara lo ngelindungin diri? Ngakunya nggak minta, tapi lo tetap terima?! Apa lo udah nggak cukup gue nafkahin?!"
Sena mengalihkan pandangan, bibirnya bergetar sesaat, tapi ia tetap bertahan dalam posisinya. Ia tahu Ferry benar, tapi kalau mengakui itu berarti mengakui dirinya sendiri telah jatuh terlalu dalam.
"Lo tuh egois, Sen" kata Ferry lagi, suaranya melemah.
Sena menggigit bibirnya, diam. Jawabannya ada di dadanya, tapi terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
"Egois? Lo pikir lo nggak egois? Lo pikir gue nggak capek jadi orang yang selalu ngertiin? Selalu kuat? Gue nggak bisa terus-terusan begini, Ferry! Gue ... gue juga manusia!"
Ferry menatap Sena, marah dan kecewa bercampur jadi satu. Napasnya berat, dadanya naik turun. "Lo nyakitin gue, Sena. Parah."
Sena menatapnya, mata mereka bertemu dalam kehampaan. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Luka di antara mereka sudah terlanjur dalam.
"Lo ngga akan ngerti!"