MALAM itu begitu sunyi. Tidak ada suara kendaraan yang melintas, tidak ada suara anjing yang menggonggong, bahkan angin pun seakan menahan diri untuk tidak berdesir. Hanya ada keheningan yang menggantung di udara, seolah-olah dunia sedang menahan napas.
Langit malam tampak pekat, tanpa bulan, tanpa bintang. Lampu jalan berdiri kaku, memancarkan cahaya kuning redup yang nyaris tidak mampu mengusir bayang-bayang pekat di sudut-sudut jalan.
Di sebuah gang sempit, langkah kaki terdengar samar, pelan, namun jelas.
Tap ...
Tap ...
Tap ...
Seperti seseorang yang berjalan perlahan, sengaja memperpanjang tiap jejak yang tertinggal di tanah basah.
Seorang wanita berdiri di depan rumahnya, tangannya gemetar saat hendak memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. Udara dingin menggigit kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya menggigil.
Ia merasakan sesuatu—entah apa—yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Di kejauhan, ada bayangan samar di bawah lampu jalan. Tidak bergerak, hanya diam, seolah sedang mengawasinya.
Ia menelan ludah, matanya tak lepas dari bayangan itu. Nafasnya mulai memburu. Tangan yang memegang kunci mulai berkeringat. Dengan tangan bergetar, ia mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang, tetapi gagal.
Ia coba sekali lagi.
Tetap gagal.
Sementara itu, bayangan itu masih di sana. Tak mendekat, tak menjauh.
Lalu, suara itu terdengar.
Samar, nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat nyalinya runtuh.
Sebuah bisikan, begitu dekat, tepat di belakangnya.
"Jangan menoleh, dia tidak suka dilihat."
—^^^—
Sena terlelap di atas kasur tipisnya. Nafasnya teratur, sesekali tubuhnya bergerak kecil, seolah tengah bermimpi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi sudut-sudut ruangan tetap tenggelam dalam bayangan pekat. Di luar, angin malam menggerakkan tirai jendela yang tak sepenuhnya tertutup.
Di kediaman bangunan yang lama, sesuatu terasa berubah.
Udara mendadak menjadi lebih dingin, menusuk sampai ke tulang. Aroma anyir samar-samar menyelinap masuk, mengendap di dalam kamar. Tirai jendela bergoyang lebih kencang, padahal angin tadi begitu tenang.
Di sudut ruangan, dekat lemari pakaian yang sedikit terbuka, sesuatu berdiri diam.
Sosok itu tinggi, gaunnya lusuh dan berlumuran darah, menjuntai hingga menyentuh lantai. Rambutnya panjang, acak-acakan, menutupi sebagian wajahnya. Tapi ada sesuatu yang lebih mengerikan dari itu—matanya. Sepasang mata merah menyala yang tidak berkedip, terus menatap ke arah Sena.
Ia tidak bergerak, tidak bersuara.
Hanya memperhatikan.
Satu langkah.
Dua langkah.