KALA itu, hari terasa sangat panas, padahal masih pukul sepuluh pagi. Seperti biasa, suasana di rumah tampak ramai. Memiliki anak tiga yang ketiganya telah menikah dan memiliki beberapa anak, itu sudah tidak mengherankan jika di rumahnya seperti taman kanak-kanak. Lima anak dari anak pertama, dua anak dari anak kedua, dan satu anak dari anak ketiga. Semuanya berkumpul, kecuali dari keluarga anak kedua. Sena masih tinggal bersama mertuanya, itu jelas. Namun, kakak iparnya menyewa rumah tepat di depan rumah ibunya, Muni.
Tampak seperti biasa, mereka bermain di ruang tamu bagian depan. Rumah yang tampak sederhana, terbagi menjadi dapur dan ruang tamu. Jika ingin tidur, maka tidurlah di ruang tamu itu. Tadinya itu menjadi tempat tidur Sena, Ferry, dan Harris di malam hari, tapi ketika Harris menginjak usia tiga bulan, mereka pindah ke atas. Itu pun hanya satu kamar. Sebenarnya di atas masih bisa digunakan satu kamar lagi, tapi ... ya begitulah, kurang leluasa.
Seperti biasa pula, Sena selalu berada di sisi Harris. Mereka bermain dengan berbagai macam permainan. Ada lego, barbie, ikan-ikanan, mobil-mobilan, dan jenis macam permainan lainnya. Mobil-mobilan itu milik Harris, jelas, karena Harris lah satu-satunya cucu laki-laki di keluarga Muni.
Suasana begitu ramai, semua berceloteh riang. Ditambah suara televisi yang menyala, kendaraan bermotor, dan beberapa tetangga yang berlantang keras, terkadang membuat Sena merasa pening. Bukan hanya tidak suka, tapi ini sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dulu.
Benar, Sena di sisi Harris, tapi ia juga sering hanya menampakkan dirinya saja. Terkadang Sena terlalu asyik bermain ponsel. Entahlah, baginya, ponsel adalah satu-satunya cara untuk menghibur diri. Ini tidak baik, Sena pun sebenarnya sadar, tapi sangat sulit untuk melupakan fakta bahwa ia butuh ponsel untuk menjaga kewarasannya.
Di tengah ricuhnya bermain di rumah, tiba-tiba—
Buugghh!
Kejadiannya begitu cepat. Lolly melempar mobil-mobilan keras ke kepala Harris. Sontak, Harris menangis sejadi-jadinya. Sena langsung mendekap Harris, nafasnya memburu, berusaha mengendalikan emosi yang seolah hampir meledak.
"Sakit ya?" Tanya Sena sembari mengusap kepala putranya yang sakit. Harris pun mengangguk setuju.
Sebenarnya ini bukan kali pertama, Harris sudah sering diperlakukan yang kurang mengenakkan. Tapi Sena selalu menjauh, menghindari hal yang yang bisa saja memicu konflik panjang antara Sena dan keluarga suaminya itu. Ini baik bukan?
"Lolly, nggak boleh gitu mainnya. Ini sakit kena kepala Harris." Tegur Sena, dengan rasa menahan sabar. Begitukah menegur seorang anak kecil? Sena tidak paham. Rasanya, ia tidak bisa bertoleransi terhadap anak kecil manapun, kecuali Harris, putranya.
"Sini, minta maaf sama Harris." Ajak sena, berusaha melerai perselisihan.
Namun, Lolly seakan enggan untuk menuruti arahan Sena.
Hampir beberapa kali.
Melihat usahanya tak kunjung membuahkan hasil, Sena geram. Ia sadar bahwa tidak selamanya Sena akan selalu berada di sisi Harris. "Kalo kamu dinakalin sama orang, bales!" Kata Sena, emosinya menggebu.
"Nggak perlu takut. Lakukan kalo kamu benar!" Lanjutnya, seolah berbicara pada anak tujuh tahun. Padahal Harris masih 1,5 bulan kala itu.
"Nggak boleh gitu dong, Sen! Masa ngajarin anaknya buat bales ke saudaranya?!" Tegur Muni dari arah dapur dengan suara yang cukup lantang.
"Nggak boleh gimana sih? Jelas-jelas Lolly salah, masa nggak boleh ngajarin bela diri ke anak Sena sih?!" Balas Sena tidak kalah sewot. Ibarat, api yang tersulit bensin, sedikit saja percikan bisa langsung membesar dan membakar segalanya.
"Ya nggak boleh! Namanya juga anak kecil!" Kata Muni lagi.