SENANDIKA

Atika Winata
Chapter #5

BAB 5

SENA melangkah keluar dengan Harris dalam gendongannya. Matahari siang begitu terik, tetapi masih lebih nyaman dibanding atmosfer panas di dalam rumah. Suara pertengkaran masih terdengar dari balik dinding, membuat dada Sena terasa berat. Ia menepuk-nepuk punggung kecil Harris, berusaha menenangkan dirinya sendiri sekaligus anaknya.


Di teras, beberapa tetangga melirik dengan ekspresi prihatin. Salah seorang ibu tua, yang tadi menyuruhnya keluar, menghela napas panjang. "Kasian anak-anak kalo denger ribut terus," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Sena hanya tersenyum simpul, terlalu lelah untuk merespons lebih jauh.


Sena berjalan ke tempat yang sedikit lebih jauh dari rumahnya, kemudian duduk di pinggir trotoar. Sena sedikit merasa lega, memperhatikan Harris yang mulai berbaur dengan anak-anak lain. Mereka tertawa, berlari-lari kecil, seolah tak ada yang terjadi beberapa menit lalu. Sena ingin Harris tetap seperti itu—tanpa beban, tanpa rasa takut, dan tanpa trauma.


Namun, pikirannya sendiri terus berkelindan. Tangannya mengepal tanpa sadar, menahan segala amarah yang sejak tadi membuncah di dadanya. Ia benci berada dalam situasi ini. Benci karena harus keluar rumah setiap kali suasana memanas. Benci karena harus pura-pura baik-baik saja di depan orang lain. Dan yang paling menyakitkan, ia benci karena masih merasa takut.

Di sisi lain, dari dalam rumah masih terdengar keributan. Entah apa yang sedang terjadi di sana, Sena enggan mencari tahu. Ia memilih untuk bersikap egois kali ini—tak ingin memikirkan siapa pun yang tak lebih penting dari dirinya sendiri.


Hampir satu jam berlalu. Matahari seolah tepat berada di atas kepala manusia. Sena menghela napas panjang, sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Harris juga tampak bahagia, tertawa lepas seperti tidak ada yang terjadi. Setidaknya, untuk sementara, anaknya bisa melupakan suasana mencekam yang terjadi tadi.


Tiba-tiba, suara Ferry memanggil di seberang jalan yang tak jauh darinya.

"Sena?" panggil Ferry dengan suara pelan. Wajahnya masih basah, matanya memerah seolah baru saja menangis. Sena menoleh sekilas, tetapi, sekali lagi, ia tidak ingin tahu apa pun.


Alih-alih menanggapi, ia justru beralih ke Harris. "Pulang dulu, yuk. Kita makan siang," ucapnya lembut.


Tanpa bertanya atau menawar, Harris langsung mengikuti ibunya.


Sena menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke rumah. Ia menunggu Harris agar berjalan mendahuluinya. Terlihat anak itu menundukkan kepala, berusaha menghindari sisa ketegangan yang masih menggantung di udara. Di ruang tamu, beberapa orang dewasa sudah berkumpul. Perasaan Sena mulai tidak menentu. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya.


Sudah kuduga… batinnya.


Di dalam, semuanya telah lengkap. Ferry duduk di sebelahnya, lalu ada empat kakak iparnya—Yuli, Andin, serta suami mereka. Tak lupa, mertuanya juga ada di sana. Harris adalah satu-satunya anak kecil di ruangan itu, kini berada dalam pangkuan Sena. Pintu rumah ditutup, dan mereka semua berkumpul, siap membicarakan sesuatu yang Sena yakin takkan menyenangkan.


"Gua udah capek, ya, denger ibu nangis terus," Roni, suami Andin, membuka pembicaraan dengan nada kesal. "Kenapa sih, sama saudara sendiri nggak akur? Malu tau dilihat tetangga! Ribut-ribut melulu!"


Sena tetap diam, meski dalam hati ia sudah menghela napas panjang.


"Gua capek! Ibu tuh selalu dijadiin kambing hitam! Selalu... begituuu!" Roni kembali meledak.


Tatapan tajamnya kini mengarah ke Ferry. "Kenapa sih, Fer?" katanya, semakin intens. "Gua nggak pernah tuh bilang orang tua salah dalam mendidik anak. Coba kasih tau gua, emang salahnya ibu tuh di mana dalam ngedidik lu?"


Sena berdecak dalam hati.

Cih…

Lihat selengkapnya