HARRIS tampak gelisah. Kedua matanya yang biasanya berbinar ceria kini lebih banyak bergerak ke sana kemari, menatap orang-orang di sekitarnya seolah mengerti bahwa ibunya sedang merasa tidak nyaman. Biasanya, jika sudah menggenggam mainan mobil kesayangannya, Harris akan duduk tenang dan anteng. Tapi kali ini berbeda. Sejak awal pembicaraan dimulai, ia terus merengek kecil, menarik-narik tangan Sena, seakan meminta untuk segera pergi dari tempat itu.
Sena memahami ketidaknyamanan anaknya. Dan, jujur saja, itu juga menjadi alasan baginya untuk segera keluar dari situasi ini. Terlalu banyak drama yang menyeret dirinya, dan ia sudah cukup lelah. Bagi Sena, permasalahannya hanya seputar Harris dan Lolly. Tidak lebih. Begitu semuanya selesai, ia tidak mau lagi ikut campur dalam masalah lainnya.
Dengan napas yang ditahan, ia menoleh ke arah Ferry, memastikan bahwa ia akan pergi. "Harris mau nyusu dulu," katanya singkat.
Sena tidak menatap siapa pun selain Ferry. Ia tidak peduli pada reaksi orang-orang di ruangan itu. Baginya, mereka tidak lagi penting.
Ferry hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa.
Tanpa berlama-lama, Sena menggendong Harris dan melangkah menuju kamar mereka di lantai dua. Udara di atas pasti lebih panas, pikirnya. Tapi tetap lebih baik daripada harus bertahan di tengah suasana yang membuatnya muak.
Di sudut ruangan, Yuli dan Andin saling menyenggol lengan, berbagi lirikan penuh arti. Tatapan mereka mengikuti punggung Sena yang semakin menjauh, seolah mencari celah untuk kembali membicarakannya.
Begitu sampai di kamar, Sena menutup tirai yang terpasang layaknya sebuah pintu, berusaha agar tidak membangkitkan lebih banyak perhatian dari orang-orang di bawah. Harris langsung merapat ke tubuhnya, menyandarkan kepalanya di dada ibunya, sementara jemari mungilnya masih mencengkeram ujung baju Sena. Nafas anak itu sedikit tersengal, mungkin karena kegelisahan yang ia rasakan sejak tadi.
Sena duduk di tepi kasur, membiarkan Harris bersandar dengan nyaman. Tangannya dengan lembut membelai rambut anaknya, mencoba memberikan rasa aman. Dari luar, samar-samar ia masih bisa mendengar suara Roni yang entah masih mengomel tentang apa. Ia menarik napas panjang, berusaha menekan rasa jengah yang kembali muncul.
"Kamu nggak suka di sana, ya?" tanyanya pelan sambil menunduk menatap Harris.
Anak itu menggeleng lemah. Tangannya masih menggenggam erat baju Sena, seolah takut ibunya akan membawanya kembali ke ruangan penuh suara debat tadi. Sena tersenyum tipis. Ia mengerti betul perasaan Harris. Jika ia saja sudah muak dengan situasi itu, bagaimana dengan anak sekecil Harris yang tidak bisa memahami sepenuhnya tetapi tetap merasakan ketegangan di sekelilingnya?
Perlahan, suasana di luar mulai mereda. Entah mereka sudah selesai atau hanya beristirahat sejenak sebelum kembali melemparkan argumen baru. Sena tidak peduli. Yang ia tahu, di ruangan ini, di antara tembok dan triplex yang membatasi mereka dari suara-suara yang memojokkannya, ia bisa bernapas lebih lega.
Harris akhirnya mulai terlelap di pelukannya. Wajah kecilnya yang tadi terlihat gelisah kini tampak lebih tenang. Sena menghela napas panjang. Ia menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya mengalir. Ia tahu, perdebatan di luar belum benar-benar selesai. Akan ada percakapan lain, tuduhan lain, mungkin juga keputusan yang dipaksakan kepadanya.
Seperti dulu.
Tapi untuk saat ini, ia memilih diam. Memilih untuk tidak memikirkan apa pun selain Harris yang sedang tertidur dalam pelukannya. Karena di dunia yang terus menuntutnya untuk kuat, hanya di hadapan anaknya ia bisa membiarkan dirinya merasa rapuh sejenak.