Hiduplah saat cintamu mati,
Dan matilah saat hidupmu tak ada cinta
Inka membuka sebuah buku puisi, buku yang sudah lama menjadi kesayangannya. Buku itu ditulis oleh seorang laki-laki terkenal yang konon katanya, membenci cinta. Meski begitu, setiap bait puisi di dalamnya seolah memancarkan kerinduan yang mendalam terhadap seseorang, seolah cinta yang hilang telah tumbuh kembali dalam setiap kata. Inka tidak pernah bosan membacanya. Setiap lembar menghanyutkan ia ke dunia yang dipenuhi diksi-diksi indah. Sayangnya, penulis puisi itu telah lama pergi, meninggalkan kehidupan setelah menulis puisi terakhirnya.
“Inka!” panggilan keras dari ibunya. Inka sontak menoleh ke belakang, mendapati ibunya berdiri di ambang pintu dengan tangan berkacak pinggang.
“Mau sampai kapan kau akan di sana?” Tanya ibunya dengan nada tegas, sebelum berbalik pergi meninggalkan kamar tanpa menunggu jawaban.
“Iya Ibu,” jawab Inka setengah hati, matanya kembali pada buku puisi itu sejenak. Ia baru menyadari bahwa ibunya telah selesai menyiapkan makan malam. Dengan berat hati, ia menutup buku itu di meja dan meletakkannya di samping biola yang sudah lama tidak tersentuh. Biola itu dulu milik almarhum ayahnya. Semasa hidup, ayah sering memainkannya di halaman belakang rumah ketika senja datang. Nada-nada biola itu membawa ketenangan yang sulit dijelaskan. Menemani Inka dan adiknya, Ak, yang sering duduk di dekatnya mendengarkan irama biola sambil menikmati warna-warni langit senja. Namun, biola itu kini hanya menjadi hiasan. Sudah tiga tahun berlalu sejak suara indah itu terakhir kali terdengar. Ak terkadang mencoba memainkannya. Namun, hanya irama sumbang yang terdengar. Dalam hati, Inka berharap suatu hari akan ada seseorang yang bisa memainkan biola itu seperti ayah.
Di meja makan, suasana hangat keluarga menyambut Inka. Ia terkejut saat melihat pamannya, Daryo, sudah duduk di sana.
“Paman!” serunya kaget. “Sejak kapan paman datang?”
“Itulah, kau sibuk sekali dengan buku-bukumu sampai tidak menyadari kedatangan pamanmu,” ujar ibunya dengan nada kesal, sembari menuangkan sup ke dalam mangkuk. Inka menarik kursi di samping pamannya. Daryo, seorang pria berusia 42 tahun yang penuh perhatian, membantu membersihkan debu dari kursi sebelum ia duduk. Setiap kali Inka melihat wajah pamannya, kenangan tentang ayahnya kembali mengalir. Garis wajah mereka begitu mirip hingga sulit membedakan keduanya, terutama saat paman duduk dekat dengannya seperti ini.
“Bagaimana dengan barang-barangmu? Sudah dibereskan?” tanya Daryo, memecah keheningan.
“Belum, Paman. Setelah ini akan aku bereskan,” jawab Inka sambil tersenyum kecil, merasa bersalah.
“Padahal dia akan berangkat besok pagi dan barangnya belum beres sama sekali. Dasar,” sela Ak dengan nada menggoda, sembari menyuap sesendok sup daging. Inka hampir saja menimpuk kepala adiknya, tetapi paman segera menghentikan gerakannya dengan tawa kecil.
“Kalian berdua sama saja. Bahkan kepergian ayah tidak membuat kalian berubah,” ujar ibu tiba-tiba, suaranya terdengar datar namun tegas. Ia tetap fokus pada makanan di depannya, tanpa memandang kedua anaknya. “Seharusnya kalian belajar dari itu. Lihatlah paman kalian. Dia selalu membantu keluarga kita. Aku tidak bisa membayangkan, jika Daryo tidak ada, entah kepada siapa lagi kita meminta bantuan.” Ucapan ibu membuat Inka dan Ak terdiam. Mereka tahu ibu benar. Dalam banyak kesempatan, keluarga mereka telah mengandalkan paman Daryo dan meskipun paman selalu mengatakan bahwa ia tidak keberatan, rasa bersalah itu tetap ada mengintai di hati Inka.
Namun, sebelum keheningan berubah menjadi suasana canggung, Daryo menimpali dengan suara hangatnya. “Tidak apa-apa, Kak. Aku tidak masalah saat keluarga ini meminta bantuan padaku. Justru aku senang sekali bisa membantu.”
Ibu menggeleng pelan, nadanya tetap serius meski suaranya lebih lembut. “Tidak usah membohongi dirimu sendiri, Daryo. Meski kau adik dari suamiku, itu tidak mengubah kenyataannya.”
Daryo tersenyum, sebuah senyuman yang selalu membawa ketenangan di tengah percakapan apa pun. Namun di balik senyumnya, ada rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga keluarga kakaknya setelah peristiwa itu. Ia tahu, keluarga ini adalah bagian dari hidupnya yang tidak akan pernah ia abaikan. Malam itu berlalu dengan kehangatan yang biasa mereka nikmati. Tapi di hati Inka, masih tersimpan kerinduan yang sulit ia ungkapkan, kerinduan akan kehadiran ayah yang selalu membuat hidup mereka terasa lebih lengkap.
***