Dalam senja kita berdua kucari cintamu,
Tersebar di langit dalam riak keabuan.
Inka membuka matanya perlahan, cahaya pagi masuk melalui sela-sela jendela kamar yang menghadap ke laut. Jam dinding di samping lemari kayu tua menunjukkan pukul lima pagi. Suara berisik dari lantai bawah terdengar jelas, membangunkannya lebih cepat dari biasanya. Setelah menyelesaikan salat Subuh, ia bergegas ke bawah untuk melihat apa yang terjadi.
“Inka, cepat sekali kau bangun,” sapa Bibi Mara yang tengah sibuk di dapur, wajahnya tampak cerah meski bergelut dengan wajan dan spatula. “Maaf ya, pasti Bibi tidak sengaja membangunkanmu.”
“Tidak, Bi. Aku seharusnya membantu Bibi, bukannya terus tidur,” jawab Inka sambil melangkah mendekat ke dapur.
“Eh, tidak usah. Bukannya ini hari pertamamu ke kampus? Segeralah bersiap-siap,” kata Bibi Mara sambil melanjutkan memasak nasi goreng. Namun, Inka tetap mengambil beberapa bawang dan mulai mengupasnya. Ia tidak ingin menjadi beban di rumah ini. Nasehat Ibu masih terngiang jelas di telinganya untuk membantu semampunya agar tidak merepotkan Paman dan Bibi.
Bibi Mara hanya tersenyum melihat kesungguhan Inka. “Ya sudah, kalau kau mau membantu, Bibi tidak akan menahanmu. Kau bisa membantu apapun di rumah ini, Inka,” ucapnya hangat.
Setelah selesai membuat nasi goreng, Bibi Mara menyiapkan roti dan buah di meja makan. Ia menatap Inka dengan penuh kasih, lalu memeluknya. “Setelah selesai mandi, bergabunglah di bawah untuk sarapan. Bibi tidak akan memanggilmu. Bibi hanya ingin kau nyaman selama berada di sini. Jangan pernah bersedih, kau diterima di sini, Inka.”
Pelukan itu terasa begitu tulus, dan Inka merasa hatinya hangat. “Beruntung sekali Paman memiliki seorang malaikat seperti Bibi Mara,” pikirnya dalam hati. Ia merasa lebih bersyukur lagi karena memiliki keluarga yang begitu baik.
Setelah sarapan bersama, Inka, Fitri, dan Paman Daryo bersiap untuk berangkat. Untungnya, kantor Paman Daryo dan sekolah Fitri berada satu arah dengan kampus Inka, sehingga perjalanan mereka terasa menyenangkan. Paman menurunkan Fitri di sekolah terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan ke kampus Inka.
Mobil sedan tua itu berhenti di depan gerbang auditorium kampus, tempat ribuan mahasiswa baru sudah berkumpul. Lautan manusia itu memakai seragam putih dengan bawahan hitam, menghiasi tempat ini seperti sebuah tradisi yang terus diulang setiap tahunnya.
“Semangat, Inka,” kata Paman sambil tersenyum.
“Terima kasih, Paman,” jawab Inka sambil melambaikan tangan. Ia berdiri memandangi mobil itu yang perlahan menghilang di antara kendaraan lainnya. Kini, ia benar-benar sendirian di tengah kerumunan. Tidak ada satu pun wajah yang ia kenali, dan ia juga merasa semua orang tampak asing. Namun, sebuah suara lembut memanggilnya dari arah samping.
“Segera masuk,” ujar seorang kakak senior, matanya membaca tali pengenal yang tergantung di leher Inka. “Inka Nirmala,” ia mengeja dengan jelas. “Kau membawa tanda pengenal fakultasmu?”
“Bawa, Kak,” jawab Inka cepat, sedikit gugup.
“Bagus. Nanti serahkan di meja registrasi, ya. Setelah itu, akan ada panitia lain yang menuntunmu.” Kata kakak senior itu dengan ramah. Inka merasa lega karena bertemu seseorang yang membantunya. Ia segera mengantre di meja registrasi, meski antreannya begitu panjang hingga ia bahkan tidak bisa melihat ujungnya. Setelah selesai registrasi, seorang kakak panitia menuntunnya masuk ke auditorium yang besar. Begitu masuk, Inka terpesona dengan ruangan itu. Auditorium ini jauh lebih luas daripada yang ia bayangkan. Ia diarahkan untuk duduk di bangku kosong di samping seorang anak perempuan yang tampaknya ramah, rambutnya diikat dengan rapi seperti Inka.
“Hei, kau dari Fakultas Ilmu Budaya juga?” tanya anak itu dengan antusias.
“Bagaimana kau tahu?” Inka bertanya balik, sedikit kaget.
“Tali pengenal fakultasmu berwarna merah, sama sepertiku. Jadi, benarkan?” Gadis itu memastikan dengan senyum lebar. Inka mengangguk pelan.
“Perkenalkan, namaku Ayu Diksi Mertara. Kau bisa memanggilku Ayu,” katanya sambil menjulurkan tangan.
“Namaku Inka Nirmala. Panggil saja Inka,” jawab Inka sambil menjabat tangan Ayu dengan senang hati.
“Apa jurusanmu, Inka?” tanya Ayu lagi.
“Sastra Indonesia,” jawab Inka singkat.
“Wah, kebetulan sekali!” seru Ayu sambil bertepuk tangan riang. “Aku juga Sastra Indonesia! Susah sekali menemukan anak-anak sastra di sini. Tapi ternyata di antara ribuan mahasiswa baru ini, aku menemukan satu!” katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Inka ikut tertawa mendengar keceriaan Ayu.
“Dari mana asalmu, Ayu?” tanya Inka, senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Aku lahir dan besar di sini, di Padang. Kota ini sudah menjadi rumahku sejak kecil,” jawab Ayu, matanya berbinar bangga. “Lalu, bagaimana denganmu?”
“Aku dari kota sebelah,” ujar Inka dengan nada lembut. “Kebetulan aku diterima di kampus ini, jadi harus pindah.”