Senyuman Rory adalah pertanda baik.
Hal itu yang pertama dicari oleh Prisma. Anak berumur empat tahun itu duduk bersama ayahnya, Ian, di teras belakang. Di atas ubin hitam, bertaburan Lego beragam warna. Kedatangan Prisma langsung merebut perhatian Rory. Mainan itu tak lagi berarti. Rory berdiri. Mata cokelat besarnya berpendar.
Bibir yang tipis kemerahan itu melengkung naik. Namun, Prisma belum sepenuhnya yakin senyum itu ditujukan untuknya. Sebab, yang paling ditunggu Rory adalah ben da yang memenuhi kedua tangan Prisma.
“Kelinci!” Rory bersorak. Melonjak-lonjak penuh sema ngat. “Kelinci!”
Jantung Prisma berdentam. Padahal, dahulu perjum paan dengan Rory selalu jadi momen favoritnya. Kesem patan ke tika dia tidak perlu berpura-pura jadi orang dewasa. Sekarang, setelah keputusan besar yang dia ambil bersama Ian, ada ketakutan kecil yang selalu menggantung.
Ian sedang menatapnya. Lelaki itu mengerti kekhawatiran nya, sekaligus jadi seseorang yang selalu meyakinkan bahwa tak ada yang perlu dicemaskan. Rory menginginkan seorang ibu dan Prisma adalah kandidat yang paling pantas.
Rory menggayuti celananya. Keceriaan anak itu dapat mengusir pengap yang menjejali sore, menambah semarak pekarangan yang penuh anggrek-anggrek mekar. Mereka berdua turun dari teras bertelanjang kaki. Halaman kecil itu dihampari rumput Jepang dan jadi ruang untuk Prisma melakukan hobi berkebunnya.
Ian memberinya senyum. Juga jarak, memberi kesempatan penuh kepada Prisma bercengkerama bersama Rory.
Prisma dan Rory bergandengan. Berhenti di depan sebuah bangunan mini dari kayu yang mengisi sisi sebelah kanan halaman. Rumah baru untuk penghuni baru.
“Rory, kamu tahu enggak, kalau gigi kelinci bakal terus tumbuh?” tanya Prisma sambil membuka pet cargo.
Rory ikut melongok. Ekspresinya tegang menunggu tangan Prisma yang perlahan-lahan ditarik keluar. Dia berjongkok, menyatukan kedua tangannya di atas lutut. Matanya membola, lalu berbinar-binar.
Seekor kelinci cokelat mengilap ada di tangan Prisma. Binatang itu hanya sebesar tangkup kedua tangan Prisma. Bulu-bulunya halus dan berkilat. Matanya yang gelap memantulkan wajah Rory yang tegang. Rory menatap ayahnya sekilas, lalu kembali pada si kelinci.
Tangan kecil Rory terjulur, belum tiba di kepala si kelinci, keburu ditarik kembali. Prisma tertawa kecil. Dielusnya kelinci itu. “Mau pegang?”
Anak itu membalas tatapannya. Penuh harapan. Prisma menunggu jawaban. Pertanyaan tadi mendadak hilang. Dia yakin Rory akan menerima hadiah ini. Seperti Rory sudah menerima kehadirannya.
“Boleh, Ma?”