SENANDIKA RASA

Aizawa
Chapter #1

Rasa yang Belum Usai

Perempuan bermata sipit turun dari mobil dengan wajah muram. Ia berjalan menuju gedung yang ada di depan, tanpa memedulikan lelaki di belakang kemudi yang terburu turun untuk mengejarnya.

“Fa, aku sungguh minta maaf.” Lelaki itu memelas saat telah menyejajari langkah perempuan itu.

Hanya desahan napas berat sebagai jawaban yang perempuan berkulit kuning langsat berikan.

“Maafkan aku karena telah lupa waktu.”

“Apa dengan minta maaf lantas membuatku tidak jadi terlambat?!” keluh perempuan berhijab tanpa menghentikan langkah. Wajah muramnya berubah kesal.

“Aku benar-benar menyesal, Fa. Tapi mau bagaimana lagi, tugas itu begitu penting bagiku.”

Perempuan itu menghentikan langkahnya, ia diam sejenak. Menarik napas panjang seolah ingin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum menumpahkan kekesalannya pada sang suami. 

“Sudah lupakan! Aku telah terbiasa tidak dianggap penting olehmu!” ucapnya kemudian setelah mengembus napas dengan kasar. 

Perempuan ayu itu kembali berjalan dengan langkah cepat. Tak peduli dengan apa pun yang lelaki itu ucapkan. Punggung tangannya mengusap kasar bening halus yang mulai menggenang di pelupuk mata. Samar ia mendengar, lelaki itu akan menyusul setelah memarkirkan mobil yang tadi ia tinggal begitu saja.

Perempuan bergamis cokelat muda dengan hijab berwarna lebih tua itu mengerjap-ngerjapkan mata demi menghapus sisa genangan air yang menutupi netranya sebelum memasuki ballroom hotel yang terletak di lantai dasar. Pandangan matanya diedarkan ke sekeliling ruangan, mencari tempat duduk yang belum berpenghuni, ketika telah di dalam ballroom.

“Apa kabar, Fa?”

Pria tinggi berbadan bidang dengan setelan jas berwarna biru dongker menegurnya. Fahira—perempuan berhijab itu—menoleh ke asal suara. Pandangan mereka beradu. Mata sipit Fahira membesar, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sekian lama tak berjumpa, ia sama sekali tak menduga akan bertemu di sini. Terlebih, debar itu ternyata masih ada. Kuat terasa.

Sekejap, Fahira tersihir hingga lidahnya menjadi kelu. Bukan karena senyum yang terkembang di wajah tampan pria di hadapannya, melainkan sorot mata itu mengingatkannya pada kejadian tiga tahun lalu. Sorot mata bercahaya dan penuh cinta. Tentu saja sebelum jawaban yang Fahira berikan menoreh luka pada pria itu, juga dirinya sendiri saat itu.

"Fa, kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Ba ... baik. Ya, aku baik-baik saja. Alhamdulillah." Fahira tersenyum kaku. Seketika ia menunduk.

Ada aliran hangat yang menjalar. Terkenang masa-masa dulu. Entah sejak kapan, rasa itu hadir. Ia ada, tetapi tak ingin ditunjukkan. Menyimpannya dalam diam, tapi Fahira menikmatinya. Menikmati rasa yang terpendam. Membuatnya canggung demi menutupi salah tingkah tiap kali mereka berjumpa.

Menjadi teman satu sekolah hanya sementara, sebab pria itu pindah tanpa sempat berpamitan. Kala itu, saat mereka duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas. Meninggalkan Fahira yang belum terlalu paham dengan rasa kehilangan. Hingga hari-hari berlalu, Fahira merindukannya.

"Bagas."

Lihat selengkapnya