Nadia melirik sekilas ke arah Bagas yang sedang mengemudikan mobil dalam diam. Raga lelaki itu memang bersamanya saat ini, tetapi tidak dengan pikirannya.
Wanita berambut lurus panjang sedikit bergelombang yang dibiarkan tergerai kembali melayangkan pandangan ke luar mobil, melalui kaca transparan. Ada pergulatan batin di dirinya. Ingin memastikan kemana Bagas dan apa yang terjadi hingga suaminya itu tak menjawab teleponnya, meski berkali ia menelepon. Namun, Nadia takut jika Bagas mengatakan hal seperti yang ia duga.
Nadia tak sanggup menerima kenyataan jika benar lelaki tegap yang ada di sampingnya bertemu diam-diam dengan Fahira. Perempuan yang sejak awal menjadi tameng di hati Bagas, hingga Nadia tak mampu sedikit saja memasukinya. Padahal, akhir-akhir ini Bagas telah bersikap lebih baik dan tak dingin lagi seperti sebelumnya.
Di lain pihak, jika Bagas bercerita sebaliknya, Nadia menduga Bagas menutupi sesuatu tentang hubungannya dengan Fahira, dan itu membuatnya lebih terluka. Ahh, prasangka-prasangka itu sungguh menyesakkan dada. Lantas Nadia memilih diam. Diam dalam nestapa.
Di mobil yang berbeda, wajah kesal Fahira tak lagi tampak, berubah sendu dengan perasaan tergugu. Abymana juga tak banyak bicara sejak kejadian terakhir di acara reuni tadi. Bagaimanapun, Bagas adalah lelaki yang pernah berjuang untuk mendapatkan cinta Fahira. Walau hingga kini, Abymana tak tahu penyebab Fahira menerima dirinya setelah pernah menolak Bagas. Terkadang sebuah tanya muncul dalam benak, apakah cinta untuknya telah tumbuh di hati Fahira?
Abymana menoleh pada Fahira yang duduk di kursi sebelah. Wanita itu menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ia berusaha menebak apa yang tengah istrinya itu lamunkan. Walau lelaki manis keturunan jawa itu tak terlalu yakin, tetapi dugaan bahwa Fahira habis menangis tadi cukup mengganggu pikirannya.
Fahira mengalihkan pandangan ke kaca pintu mobil, saat matanya mulai mengembun. Abymana yang sedang fokus mengemudi tak menyadari ketika Fahira menyeka matanya yang mengabur tertutup kaca-kaca. Sebab, pikiran Fahira melayang pada kejadian beberapa saat lalu.
Fahira baru saja melangkah keluar dari toilet wanita setelah selesai mengeringkan jilbabnya menggunakan alat pengering tangan yang ada di samping wastafel, ketika ditemuinya Bagas bersandar di dinding samping toilet. Sontak Fahira terkejut.
“Bagas? Ngapain di sini?”
“Apa kau bahagia?” tanya Bagas masih dalam keadaan bersandar sambil memandang lantai.
Fahira mengernyitkan dahi, “Ma … maksudnya?”
Bagas menjauhkan punggungnya dari dinding, menoleh pada Fahira dan menatapnya tajam. Fahira yang ditatap sedemikian rupa oleh lelaki—yang selalu membuat jantungnya berirama tak beraturan—itu, refleks berpaling dan menunduk. Ia harus menjaga pandangan, dan juga hatinya. Tentu saja.
“Abymana, ya, apa karna Aby?” Bagas menjeda ucapannya, “Apa benar karna Aby kau menolak lamaranku waktu itu? Apa sungguh karna cintamu untuk Aby, Fa?”
Fahira hanya diam.
“Atau itu hanyalah alasan?” Bagas terdiam beberapa saat. “Aku yakin kau mencintaiku, bukan Aby!”
Fahira mendongak, dan mereka bersitatap.
“Aku yakin kau mencintaiku juga,” ulang Bagas.
Wanita yang tingginya hanya sebatas bahu lelaki di hadapannya itu menunduk. Bening halus mulai menggelayut manja di pelupuk mata.