Senandika

Nur Nisrina Hanif Rifda
Chapter #2

Bagian Satu: Masa Lalu

Aku hanyalah seseorang dalam lubang,

terjebak bimbang,

hingga akhirnya dirimu datang,

dan membuatku lebih tenang..

...

Gadis itu melepas kacamata yang ia kenakan, kembali berfokus pada lapangan basket yang sudah mulai sepi. Sejenak, diedarkannya pandangan ke sekitar, sebelum kemudian memasang kembali kacamatanya dan lanjut membaca.

Mutiara Narendra. Seorang gadis biasa dengan buku yang biasa pula. Orang-orang di sekitar menganggapnya terlalu pendiam dan abai terhadap lingkungan sosial. Tetapi bukan seperti itu sebenarnya. Ah, biarkan saja. Sudah berkali-kali pula gadis itu bercerita tentang sifat aslinya kepada mereka, namun tetap saja mereka tidak bisa mengerti.

"Ara, kamu gak pulang?" Gadis itu menoleh dan menyipitkan mata tatkala mendapati Via, teman dekatnya -ah tidak, sebenarnya Via adalah satu-satunya teman yang ia miliki- datang mendekat.

"Belum ingin," jawab gadis itu singkat. Via tersenyum kecil, mengambil tempat di samping Ara.

"Sudah kuduga pasti jawabanmu begitu, haha. Pulang bareng aku, yuk, Ra! Kita mampir beli es krim dulu," tawar Via.

"Tidak usah, Vi," jawab Ara singkat sembari menutup buku ensiklopedia yang sedari tadi dibacanya. "Aku bisa pulang sendiri. Aku pesan angkutan umum online saja," lanjut Ara.

"Jangan, dong! Aku sudah bilang pada Mama kalau aku pulang telat karena nunggu kamu yang mau pulang bareng. Aku harus bilang apa kalau aku pulang tanpa kamu!" Via berseru kencang. Ara tertawa kecil, sudah terlalu sering Via menjadikannya alasan jika ingin pulang telat.

"Ya sudah, untuk kali ini saja. Aku ambil tas dulu," sahut Ara. Via menggeleng, menahan lengan Ara saat gadis itu hendak melangkah pergi.

"Tasmu sudah kubawakan, nih!" Via menunjuk tas krem milik Ara yang sedari tadi ia dekap. Ara menepuk jidat, tidak sadar jika tasnya sudah berada di tangan Via. Maka, tidak akan ada alasan bagi dia untuk menolak.

"Oke, tapi langsung pulang aja ya, Vi. Aku harus mengerjakan tugasku. Es krimnya kapan-kapan aja,"

"Siap, Bos!"

...

Rumah terasa sepi seperti biasa saat Ara membuka pintu dan mengucap salam. Sejenak, Ara merasa aneh karena sepertinya pintu itu sudah ia kunci tadi pagi. Namun, Ara mengangkat bahu dan berusaha berpikir logis. Mungkin memang dia lupa mengunci pintu rumah dan hanya mengunci pintu gerbang. Dalam diam, Ara melangkahkan kaki menuju kamar. Setelah sejenak meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal, ia bergegas menyambar handuk dan mandi sore.

Sepi? Ya, hidupnya selalu terasa amat sepi seperti ini. Tidak di rumah, tidak di sekolah, semuanya sepi. Mungkin hanya sesekali ketika bersama Via, Ara bisa sedikit melepaskan beban berat yang bergelayut di pundaknya. Melupakan sedikit dari kesedihan hidupnya. Usai mandi, Ara melangkahkan kaki dalam diam meuju kamar dan mulai membongkar buku-buku dari dalam tasnya. Ada tugas matematika yang harus ia selesaikan.

Namun, Ara hanya termenung hingga beberapa saat sesudahnya. Lamunannya buyar ketika ia mendengar suara pintu kamar diketuk. Ara melangkah mendekat dan membuka pintu. Ia terkejut ketika mendapati Alisa, kakaknya, berdiri di hadapannya sambil membawa nampan dengan sekaleng biskuit dan dua gelas cokelat panas.

“Selamat sore, Ara. Aku sudah siapkan camilan dan minuman ini untukmu,” ucap Alisa. Ara tersenyum.

“Sore, Kak. Terima kasih. Pantas saja tadi pintunya gak terkunci saat aku pulang. Kak Alisa sejak kapan di rumah?”

Alisa tertawa kecil. “Baru saja datang. Kuliah sedang libur dua minggu untuk persiapan ujian. Daripada aku mendekam di kota lain, lebih baik aku pulang ke rumah, menemani adikku yang kesepian ini,”

"Tadi, ketika aku baru pulang sekolah, Kakak ada dimana?"

"Olahraga di belakang," sahut Alisa singkat. "Ada Via di bawah, sedang ke kamar mandi. Sebentar lagi dia akan ke sini,” lanjutnya. Tepat setelah kalimat itu diucapkan, Via datang dari arah tangga.

“Hai, Ara! Hai, Kak Alisa!” seru Via riang. Ara mengernyit.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Ara. Ia mengamati Via lekat-lekat. Via masih memakai seragam sekolah yang menandakan bahwa ia belum pulang ke rumahnya untuk berganti baju.

“Setelah mengantarkanmu tadi, Mama berkata kalau masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Jadi, Mama hanya akan mengantarkanku pulang, lalu pergi lagi. Bosan sekali aku jika harus di rumah sendirian. Belum lagi, Papa juga masih di Jakarta hingga minggu depan. Ya sudah, aku minta putar balik saja ke rumahmu,” jawab Via panjang lebar. Ara mengangguk-angguk.

“Ya sudah, sini masuk! Terima kasih, ya, Kak!” sahut Ara sembari membuka pintu kamarnya lebih lebar dan tersenyum pada Alisa seraya mengambil alih nampan. Alisa mengangguk dan berlalu pergi. Sedangkan Via melangkah masuk ke dalam kamar Ara. Seperti biasanya, ia kemudian melemparkan tubuh ke atas kursi malas milik Ara di dekat jendela.

Ara tertawa kecil melihat tingkah Via. Ia menyimpan nampan dengan sekaleng biskuit dan dua gelas cokelat panas itu di atas meja. Kemudian, ia kembali duduk menghadap meja belajar.

“Hei, kamu serius sekali, sih! Itu tugas apa?” tanya Via.

“Kan tadi aku sudah bilang padamu, Vi. Masih ada tugas yang harus kuselesaikan. Ini tugas matematika untuk pertemuan minggu depan,” jawab Ara.

“Ya ampun, Ara! Pengumpulan tugasnya baru akan dilakukan minggu depan. Sudahlah, santai saja!” celetuk Via. Ara tertawa. Benar juga, untuk apa dia harus bersusah payah sekarang. Lagipula, ia tadi memilih untuk mengerjakan tugas karena tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan sendirian. Sekarang, ada Via di sini. Seharusnya, ada banyak hal menyenangkan lain yang bisa ia lakukan bersama Via.

Lihat selengkapnya