Tiara memperhatikan Keira yang sedang memegang sejumput daging di perutnya. Kemudian menusukkan jarum dan memompakan insulin, tepat satu strip. Dosis untuk sepiring nasi yang barusan ia habiskan. Tidak diragukan lagi, Keira telah sangat mahir menyuntik dirinya sendiri.
Sudah hampir tengah malam, dan mereka belum menemukan penginapan yang bisa mereka tinggali. Tiara merasa tubuhnya nyaris rontok menyupir selama delapan belas jam. Lelah dan nyaris tertidur saat berkendara, Tiara seperti terhipnotis saat melihat sebuah pom bensin yang besar dan terang benderang. Alam bawah sadarnya seperti memerintahkan dia untuk membelokkan mobil masuk ke dalam pom bensin itu.
“ Ra, malam ini kita tidur di mobil dulu yah. Besok kita baru cari tempat untuk tinggal.” Kata Tiara sambil mengusap rambut Keira.
“ Keira tadi udah banyak tidur. Mama yang belum istirahat.” Keira bergumam sedih.
Tiara tersenyum, mendapatkan perhatian kecil dari anak semata wayang terkadang seperti mendapatkan obat kuat. Lebih manjur dari kopi.
“ Kenapa kita ke Jakarta Mah ?” Keira bertanya lirih.
“ Kita akan memulai hidup baru di sini.” Jawab Tiara dengan sendu. Hanya itu dapat dia katakan kepada Keira saat ini. Mustahil baginya untuk mengatakan bahwa dia memilih ke Jakarta karena ingin menghindari kejaran penagih hutang di Kota Surabaya.
Sejak suaminya meninggal setahun yang lalu, bisnis kain milik suaminya hancur lebur. Rumah mereka sering kali didatangi penagih hutang yang tidak jelas juntrungannya, yang bahkan tidak Tiara ketahui bagaimana cara menelusuri kebenarannya. Titik puncaknya adalah beberapa minggu yang lalu, rumah mereka disita oleh pihak Bank.