“ Keira. Ayu maju Keira. Giliran kamu.”
Keira berdiri gugup di depan kelas. Selalu begitu. Dia sangat tidak nyaman ketika disuruh berdiri di depan kelas. Dia merasa seperti sedang disuruh untuk memamerkan seluruh kekurangannya secara terbuka kepada seisi kelas.
Baju seragamnya yang telah tipis dan menguning, akibat terlalu lama tak pernah mendapatkan seragam baru. Sepatu hitam yang sobek di bagian kelingking akibat sudah terlalu sempit. Logo Osis di bagian kantong yang terlepas akibat kemeja yang telah aus di bagian kantong. Benang- benang halus yang mulai terurai di ujung rok sekolahnya. Dan teman kelasnya yang selalu menertawakan dirinya.
Keira lebih suka jika ia dianggap tidak ada di dalam kelas. Di seluruh kelas ini, dia adalah satu- satunya yang tak pernah bergaul dengan teman yang lain. Saat ada kegiatan ekstra kurikuler, dia selalu menyembunyikan diri. Terutama saat ada kegiatan sekolah yang menuntut biaya lebih, dia selalu melarikan diri. Seisi kelas itu tahu, bahwa selama tiga tahun di sekolah itu, tidak sekalipun Keira pernah pergi ke kantin.Dia adalah satu- satunya murid di sekolah itu yang tidak pernah jajan.
Sudah lama dia mendapatkan stempel sebagai ‘ si miskin’, kadang ‘ si gembel’. Itulah nama panggilan dia saat di sekolah. Rasanya sudah lama sekali tidak ada yang memanggil namanya saat di kelas, terkecuali para guru. Sebagai akibatnya dia tak pernah memiliki teman sekolah. Setiap kali diejek dan dihina, yang menjadi temannya untuk berkeluh kesah hanyalah dinding kamar mandi. Dinding kamar mandi di sekolah sudah bagaikan tembok ratapan bagi Keira.
Tapi apapun yang terjadi di sekolah, Keira tidak pernah membawa masalahnya ke rumah. Dia tahu, dapat menyekolahkan dirinya merupakan salah satu hal yang paling dibanggakan oleh Ibunya. Ditengah kehidupan mereka yang ombang- ambing diterpa badai, dapat menyekolahkan Keira mungkin merupakan satu- satunya kebanggaan Ibunya yang tersisa. Dia juga tahu, salah satu hal yang membuat mereka hidup susah adalah karena dirinya sendiri yang tak bisa hidup tanpa suntikan insulin yang harganya sangat menguras isi kantong.
Dia adalah orang miskin yang mengidap penyakit orang kaya.
Maka Keira tidak ingin menambah masalah bagi Ibunya. Yang ia tahu telah banting tulang demi menghidupi mereka berdua. Semua tangisannya di sekolah, tidak sekalipun ia bawa pulang.
“ Ayu Keira. Ibu ingin dengar kamu bernyanyi.” Kembali guru keseniannya berkata.
Seisi kelas mulai tertawa berderai. Entah apa yang mereka tertawakan. Namun jelas membuat Keira semakin menekuk kepalanya, seperti menghitung ubin lantai.
“ Mendingan suruh dia ngomong dulu Bu.” Seorang murid menyelutuk dan memancing tawa riuh seluruh kelas.
“ Ngomong aja susah, gimana mau nyanyi.”
“ Lah, dia mau ngomong siapa ? Kalau dia ngomong juga gak ada yang mau dengar.”
Seluruh kelas itu riuh rendah mengejek dan menertawakan Keira.
Meski setiap malam sebelum tidur Keira selalu bernyanyi dengan Ibunya sebelum tidur, namun selama di sekolah tidak satu bait lagupun pernah ia nyanyikan. Tidak satu nada pun pernah ia dendangkan.
Jika kelas ini adalah panggung sandiwara, maka peran yang cocok untuk dimainkan oleh Keira adalah pohon- pohonan yang hanya berdiri diam di pojokan kelas.
Hari itu dia minta ijin ke kamar mandi sebelum kelas usai. Di balik sebuah bilik kamar mandi dengan pintu seng yang sudah berkarat, kepalanya sekali lagi menempel ke dinding ubin berwarna biru yang telah berlumut. Air mata menetes, sedu sedan menjadi bahasanya mengadukan seluruh permasalahan kepada dinding yang selalu setia mendengarkan.
Dan seolah hidup belum cukup berat bagi Keira, beberapa hari kemudian hidupnya kembali berubah.