Senandung Angin

rudy
Chapter #8

Bab 7 Menjahit Impian

 

 

Keira sekarang meneruskan apa yang dulu dilakukan Ibunya dan dia. Malam hari, dia akan duduk di depan kamar, menikmati kesejukan angin malam sambil menjahit kancing baju. Mengharapkan hasil tak seberapa ini suatu saat akan terkumpul cukup banyak untuk menebus mimpinya.

 

Bukan impian yang rumit. Ini adalah impian yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan impian sebagian besar anak dibawah sepuluh tahun, hanya untuk berkumpul dengan Ibunya. Meski sederhana namun terasa demikian jauh, tinggi di atas langit, bersembunyi di balik bulan dan bintang.

 

Lagipula, apalagi yang bisa ia lakukan untuk membunuh waktu yang berlebihan baginya ?

 

Setiap jam empat sore, Ibunya di negeri seberang akan menghubungi dia untuk beberapa menit. Hubungan yang sangat singkat, namun paling tidak dia tahu Ibunya baik- baik saja. Selain itu hanya tugas sekolah, yang tidak selalu ada.

 

Setiap malam dia hanya berteman kenangan lama. Kenangan baru tidak ada yang cukup layak untuk diingat. Dengan helai demi helai kemeja yang ia kerjakan, paling tidak waktu terasa lebih cepat berlalu.

 

Dia duduk di depan pintu kamarnya, menikmati angin malam yang sejuk, dengan jari jemari yang menari di antara benang, jarum dan kancing baju. Seperti baru kemarin dia dan Ibunya duduk di tempat yang sama. Masih bersenda gurau, dan bernyanyi bersama sambil menjahit kancing.

 

Dia teringat malam itu, saat mereka tidur di dalam mobil hitam mereka. Malam pertama mereka tiba di Kota ini. Bagi Keira, malam pertama dia meninggalkan kota kelahirannya. Dia teringat senandung Ibunya di dalam mobil, sebelum jatuh tertidur kelelahan. Dia mulai bersenandung, lagu yang sama persis dengan yang dinyanyikan oleh Ibunya malam itu.

 

Each day I live, I want to be

A day to give, the best of me

I’m only one, but not alone

 

Kesedihan di dalam hatinya seperti ikut tercurahkan keluar bersama dengan bait demi bait lagu yang terdengar sendu di malam yang syahdu. Nyanyian yang dahulu selalu dia nyanyikan berdua, sekarang hanya seorang diri dia berdendang sambil meratap.

 

Memikirkan mengenai impian sederhana yang berusaha ia capai dengan kancing demi kancing yang disulamkan ke atas kemeja, seperti ingin mengisi air di sumur kosong dengan menggunakan sendok teh.

 

“ Suara kamu bagus sekali.”

 

Keira tersentak kaget. Suara itu sangat pelan, suara orang yang bergumam, namun terdengar jelas di malam yang sunyi. Dia memutar kepala ke arah datangnya suara, dan melihat seorang perempuan yang sedang berdiri tegak dengan sebuah tas ransel yang panjang di punggungnya.

 

Perempuan itu tersenyum, jika dilihat dari perawakannya mungkin berumur sekitar dua puluh. Penampilannya khas mahasiswi, tapi yang kampusnya ada di atas gunung. Kemeja lengan panjang, celana jeans, namun sepatunya besar. Sepatu boot ala pendaki gunung.

 

Perempuan itu menatap lurus ke arah Keira, bibirnya tersenyum lebar. Dan Keira terkejut saat melihat matanya. Tatapan mata perempuan itu sangat ramah dan ceria. Dia seperti melihat secercah cahaya persahabatan. Sinar mata yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

 

Keira ikut tersenyum ketika pandangan mata mereka bertemu. Keriangan di dalam seluruh mimik wajah itu tidak memungkinkan siapapun untuk tidak membalas tersenyum.

 

“ Hai, nama aku Mei. Aku tadi mau masuk ke kamar, tapi dengar suara orang nyanyi jadi belok ke sini. Nama kamu siapa ?”

 

Lihat selengkapnya