Di sebuah siang menjelang senja, di dalam sebuah kafe di kawasan elite. Ruangan kafe yang berbentuk bundar dengan dinding kaca di sekelilingnya menawarkan pemandangan Ibukota yang saat itu masih cukup terang untuk dilihat tanpa menggunakan lampu. Jauh di bawah sana terlihat mobil- mobil berbaris di jalan protokol Ibukota bagaikan semut, mereka belum menyalakan lampu. Meski sudah sore namun belum cukup gelap untuk menyalakan lampu kendaraan.
Meja bundar berderet- deret dikelilingi oleh sofa tunggal, setiap meja di kelilingi empat sofa. Jumlahnya sekitar lima puluh meja. Cahaya matahari yang mulai kehabisan tenaga masih menyusup masuk melalui dinding kaca yang jernih, beradu terang dengan lampu- lampu kuning yang mulai di nyalakan di dalam kafe. Membuat suasana terlihat mistis. Kuning keemasan di dalam kafe, namun dinding kaca yang berlatar langit berwarna biru gelap.
Hanya beberapa meja yang terisi, tidak sampai seperempat dari luasnya kafe itu yang terisi pengunjung.
Jam tanggung. Masih terlalu jauh dari puncak keramaian. Di ujung ruangan kafe yang bentuk bulat, di atas sebuah panggung kecil yang berlatar belakang warna langit yang biru gelap, hanya terlihat bayang- bayang tiga orang di atas panggung. Lampu kuning yang dinyalakan menyorot panggung tidak cukup kuat untuk mengalahkan sinar matahari di belakang mereka.
Sabetan jari tangan di atas senar- senar gitar terdengar menggila, diiringi dentuman tongkat drum yang menggebuk bertubi tubi, bersamaan dengan suara lengkingan keyboard yang digelitik dengan ganas, kemudian dalam detik yang bersamaan, seluruh alat musik itu berhenti dimainkan. Kesunyian yang mendadak tercipta memiliki tujuan untuk menarik perhatian pengunjung, menciptakan titik klimaks dari penampilan mereka hari itu, dan menjadi penanda berakhirnya giliran mereka.
Satu dua pengunjung mengangkat tangan bertepuk lemah, wajah mereka sedikitpun tidak menoleh ke arah panggung.
“ Terima kasih atas perhatian yang diberikan. Kami, The Caravan, mengucapkan sampai jumpa dan semoga saudara- saudara sekalian menikmati malam yang menyenangkan.”
Kembali hanya satu dua orang yang bertepuk lemah, dan lagi- lagi tak ada pengunjung yang menoleh.
Aldo, Dion dan Mei merapikan barang bawaan mereka, dan berjalan meninggalkan panggung. Pintu lift membuka dan membawa mereka turun ke lantai dasar. Pada saat mereka berjalan menuju mobil Dion di tempat parkir, ada empat orang yang berwajah ceria, berjalan sambil ketawa ketiwi.
Keempat orang itu juga membawa peralatan musik, tempelan kartu pengenal di dada mereka tertulis dengan jelas, Kafe Indoor. Kartu pengenal yang sama persis dengan milik mereka. Stiker besar berwarna warni dengan tulisan ‘BLACK HOLE’ menempel di berbagai peralatan musik yang mereka bawa.
Keempat orang itu adalah kelompok band yang mendapatkan jatah sebagai artis utama di kafe indoor. Yang akan tampil di jam paling ramai pengunjung di kafe elite tersebut.
Dua kelompok band yang sama tempat tampil itu berpapasan, namun hanya satu pihak yang memberikan senyum. Aldo, Dion dan Mei seperti sedang tersenyum kepada dinding. Wajah keempat orang itu datar seperti hanya berpapasan dengan tumbuh- tumbuhan.
“ Sombong amat.” Desis Dion dengan kesal saat mereka masuk ke dalam mobil Aldo. Pintu mobil dibanting saat menutup.
“ Lu marah- marah silahkan aja, tapi jangan korbanin pintu mobil gue dong.”
“ Gondok gue. Jalannya udah pada nggak liat tanah itu. Harusnya tadi teriakin aja yah, hati- hati kesandung.”
“ Udah, gitu doang, jangan suka mancing ribut ah.” Mei menukas dari bangku belakang.
“ Yang mancing ribut itu mereka. Lu liat aja sombongnya sampai begitu. Ngeliat kita aja gak mau loh.” Dion masih kesal.