Hujan. Hawa terasa lebih sejuk, udara dari kipas angin terasa lebih menyegarkan. Namun harus dibayar dengan duduk terkurung di dalam kamar, Keira tak bisa menyulam di depan kamar seperti yang biasa ia lakukan saat cuaca cerah. Dia dan Mei duduk di dalam kamarnya, menghabiskan makan malam yang mereka beli berdua sambil mendengarkan rintik hujan yang turun tidak terlalu deras.
Mei memperhatikan Keira yang mencubit sedikit daging di perutnya, kemudian jarum suntik yang berbentuk seperti pulpen ditusukkan menembus kulit. Cairan insulin dipompa ke dalam lapisan kulit di perut. Setelah itu Keira menggunakan tangan menggosok bagian perut yang tadi di suntik.
Mei resmi menjadi orang kedua di sekitar sana yang tahu mengenai kebutuhan Keira akan insulin. Juga resmi menjadi orang kedua setelah Bik Inah yang masuk ke dalam kamar Keira.
Mata Mei berputar memperhatikan kamar Keira. Agak heran karena kamar yang katanya telah dihuni selama lima tahun ini masih tampak lengang. Pada umumnya, semakin lama kita tinggal di satu tempat, akan semakin sesak juga tempat itu dengan segala macam barang yang tidak jelas kegunaannya.
Namun tidak demikian dengan kamar Keira. Ranjang, satu rak besar pakaian, satu meja hias, ini semua adalah perabotan standar dari pemilik kosan. Sama sekali tidak ada tambahan perabotan selama lima tahun Keira tinggal di sana. Kalaupun ada yang membuat kamar itu tampak penuh hanya tumpukan kemeja untuk dipasang kancing yang menumpuk di pojokan kamar.
Mei merebahkan diri di atas ranjang yang tampak lapang, sama sekali tidak ada tumpukan barang di atas ranjang. Tidak seperti kamar Mei, yang baru ditinggali satu minggu namun sudah berantakan dengan berbagai macam barang. Pakaian yang sudah tidak muat di rak, di letakkan begitu saja di atas ranjang, termasuk buku dan peralatan tulis. Ranjang yang seharusnya muat untuk dua orang sekarang bahkan untuk satu orang saja harus meringkuk.
Peralatan elektronik di dalam kamar Keira hanya ada satu. Kipas angin. Dua jika ditambah dengan ponsel. Tiga jika lampu masuk hitungan.
“ Ra, kamu nggak bosan tiap hari di kamar doang ?” Tanya Mei ceplas ceplos.
Keira tertawa kecil. “ Bosan kan hanya masalah apa yang ada dipikiran kita. Meski di dalam kamar doang, tapi kalau pikiran kita nyasar kemana- mana gimana mau bosan. Manusia kalau banyak pikiran gimana mau bosan.”
“ Hati- hati, jangan terlalu banyak pikiran. Tar malah bosan hidup pulak.”
Keira kembali tertawa kecil. Dia mengambil seraup kemeja di pojokan dan mulai menyulam. Mei mulai membuka buku lagu Keira. Dia duduk bersila di atas ranjang, dengan keyboardnya diletakkan di atas kakinya yang bersilang.
“ Ra, kamu gak suka lagu- lagunya Celine Dion ?”
“ Apa itu ?”
“ Celine Dion. Penyanyi.” Mei mengulang.