Mei berdiri agak jauh dan melihat Keira seperti biasa, duduk di luar kamar dengan tumpukan kemeja. Wajahnya yang selalu sendu dan cenderung dingin dengan serius memperhatikan kancing dan jarum di tangannya. Tangannya terlihat sangat mahir dan lincah menari di atas kemeja yang bertumpuk di depannya.
Mei berjalan mendekat, bayangannya yang memanjang dengan segera menarik perhatian Keira. Keira mengangkat kepala, matanya berbinar ketika melihat Mei, senyumnya merekah. Wajah yang dingin itu sedikit meleleh ketika bertemu dengan Mei.
“Kuliah sampai malam ?” Tanya Keira saat melihat wajah Mei terlihat agak lelah.
“Nggak. Tadi latihan band agak lama.” Jawab Mei.
“Band ? Mei ngeband ?”
“Ya. Setiap hari. Tapi biasanya nggak semalam ini. Aku ada dua teman dari jaman masih pakai seragam putih biru. Tau gak ? Awalnya aku suka musik itu adalah karena dulu sering ikut mereka camping. Kalau tengah malam, karena gak ada kerjaan di atas gunung, kita bikin api unggun, terus nyanyi bareng- bareng. Sejak itu aku suka musik. Keterusan sampai sekarang.”
“Aku suka nyanyi, karena sejak kecil kalau aku nangis Mama pasti menghibur dengan ngajak nyanyi.”
“Kamu udah makan belum ?” Tanya Mei.
“Aku udah.” Jawab Keira.
“Temenin aku yuk beli makanan.”
Hampir saja Keira menggeleng mengikuti sifat introvertnya. Namun saat dia melihat sinar mata Mei, dia tak kuasa menolak kehangatan dan tawaran persahabatan di wajah lembut yang selalu ada senyum di dalamnya.
Keira balas tersenyum, menyingkirkan tumpukan kemeja yang menutupi kakinya, dan mengangguk.
Tetapi bukan hanya tempat makan yang mereka singgahi, Mei memiliki rencana lain. Dia berjalan sambil berpikir. Bagaimana cara menyadarkan Keira akan potensi di dalam dirinya ? Ini akan membantah seluruh keyakinan Keira akan dirinya sendiri yang telah terpatri selama bertahun- tahun. Bahwa dia tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan, bahwa hidup baginya hanyalah bergulir mengikuti jalan yang telah disediakan. Padahal jalan yang terlihat di matanya itu berasal dari pikirannya sendiri. Karena dia berpikir hanya itu jalan yang tersedia, maka ia terus- terusan menjalani kehidupan yang itu- itu saja.
Maka Keira juga tidak memiliki keinginan yang muluk- muluk. Dia tidak pernah menetapkan tujuan untuk masa depan. Dia hanya berulang kali mengutarakan keinginan hatinya untuk kembali bersatu dengan Ibunya. Keira tidak pernah sadar bahwa itu bukanlah cita- cita, itu hanya keinginan manusiawi seorang anak yang menghendaki kasih sayang seorang Ibu.
Sebuah cita- cita, jika tidak mengharuskan perubahan pada diri seseorang untuk mencapainya, maka itu bukanlah cita- cita.
Butuh lima tahun bagi Keira untuk menyadari bahwa tidak sampai seratus meter di sebelah kiri kosan ada penjual soto mie. Karena dia selalu langsung belok kanan menuju sekolah. Butuh lima tahun bagi Keira untuk memiliki seorang teman yang membawanya melihat dunia sebelah kiri kosan. Tempat yang terasa janggal bagi Keira, semuanya terlihat asing di matanya. Dia seperti katak yang melompat keluar dari tempurungnya selama ini.