Keira melangkah kecil- kecil, ragu namun sudah kadung berada di tempat yang di maksud. Tinggi, di atas loteng berlantai tiga. Tempatnya terbuka, angin bertiup bebas tanpa penghalang. Menghempaskan anak rambut Keira hingga tercerai berai ke pipi dan dagu.
Langit senja yang kemerahan dipenuhi bercak abu- abu dari awan yang menggantung, angkasa sedang bersiap menyambut datangnya malam. Siluet burung yang terbang kembali ke sarang berkelebat bagaikan petir hitam.
Dari kepala tangga tempat ia berdiri, terlihat siluet tubuh tiga orang yang telah berada di sana. Suara mereka yang berkumandang terbawa angin terdengar jelas oleh Keira. Dia langsung mengenali Mei. Yang dua lagi tentunya Aldo dan Dion.
“Nah, itu dia. Ra, sini.” Mei melambaikan tangan. Sebaris peralatan keyboard berada di depannya, dia masih sibuk menyambungkan segala macam kabel ke perangkat sound system sederhana. Rambutnya yang sebahu dijepit dengan hiasan berbentuk kerang, dia sudah tahu angin selalu bertiup seperti ini saat mereka berlatih.
Tidak seperti Keira yang harus setiap lima detik mengusap rambutnya yang cerai berai ke mata.
Aldo mengangkat kepala dan memberikan sebuah senyuman selamat datang. Dion hanya mengangkat kepala sesaat, kemudian tenggelam menata peralatan perkusinya.
“Nih, pakai ini.” Mei yang melihat Keira kesulitan mengatur rambutnya mengangsurkan sebuah ikat rambut.
Dengan penuh terima kasih Keira menerima uluran tangan tersebut, sekarang dia tak perlu terus menerus mengusap rambutnya kebelakang.
Aldo mulai membunyikan gitar di tangan, jari jemari Mei mulai memainkan beberapa kunci dasar, dan tongkat di tangan Dion mulai menguji drum di depannya.
“Ayu kita coba. Kamu mau nyanyi lagu apa ?” Tanya Aldo kepada Keira.
Keira diam, termenung. Melihat senja yang merona di atas loteng itu, dia teringat perjalanan hidupnya beberapa tahun belakangan ini.
Dia teringat dahulu, setiap senja saat dia masih menunggu Ibunya pulang. Setiap malam saat Ibunya masih menuliskan bait demi bait lagu di buku usang mereka.
“Bunda. Melly Goeslaw.” Keira menjawab lirih.
“Yess.” Mei berseru senang, langsung mengubah keyboardnya ke tone piano.
“Jiah, gue kagak ada guna dong.” Dion agak kecewa.
Mei tertawa. “ Lu berdua diam, dengerin aja dia nyanyi. Gue jamin gak akan ada yang kecewa.” Dia sedikitpun tidak meragukan kemampuan vokal Keira.
Aldo mengerutkan kening. Masa sehebat ini ? Ini pertama kali dia mendengar Mei memuji seseorang. Atau hanya karena mereka cocok dan cepat akbrab ?