Sekarang hidup Keira berubah dengan drastis. Setiap pagi dia keluar kosan langsung belok kanan ke arah sekolah. Sore hari dia menunggu Mei, kemudian bersama- sama keluar dari kosan dan belok kiri menuju tempat latihan mereka di atas gedung.
Bukan jarak yang jauh, namun bagi Keira dunia kehidupannya sekarang seolah berkembang dua kali lipat besarnya. Kehidupan sosialnya bahkan berkembang berlipat ganda. Dari tak punya teman, sekarang dia memiliki tiga orang teman baik yang bertemu setiap hari dengannya.
Meskipun dia harus membayar dengan mengurangi jatah menjahit kancing, namun terasa murah jika dibandingkan dengan pengalaman baru yang ia dapatkan. Apalagi jika ditambah seringnya ia tersenyum dan tertawa belakangan ini. Hidupnya terasa lebih berarti.
Mei sudah seperti kakaknya sendiri. Tiada hari tanpa bertemu dengan Mei.
“Sini, kasih aku satu suntik insulin.” Kata Mei pada suatu waktu.
“Untuk apa ? Gula darah kamu naik ?” Keira bertanya dengan cemas. Jangan- jangan diabetes ternyata menular.
“Nggak. Aku simpanin satu, untuk cadangan. Siapa tahu suatu saat kamu lupa bawa waktu kita keluar kosan.”
“Ohh.” Keira tersenyum dan memberikan satu suntik kepada Mei.
Segalanya masih terasa agak aneh buat Keira, namun menyenangkan. Mendadak memiliki orang- orang yang mempedulikan dia, mendadak dia seperti tidak dibiarkan melakukan segala hal sendirian. Mendadak waktunya terasa penuh, tidak ada yang tersia- siakan. 24 jam sekarang terasa sangat pendek. Terkecuali saat di sekolah.
Sekarang dia merasa sekolah terasa sangat lama selesai. Waktu seperti berhenti saat pelajaran sekolah. Usai jam sekolah dia seperti ingin berlari secepatnya pulang ke rumah. Menunggu Ibunya menghubungi, dan setelah itu mencari Mei. Kemudian mereka akan meluncur menuju gedung berlantai tiga itu, dan bersama- sama melakukan hobi mereka.
Loteng yang terbuka, dengan angin semilir yang menyejukkan, menjadi markas mereka setiap senja. Buku lagu Keira sekarang telah berganti menjadi sebuah buku besar, sama besarnya dengan album foto pernikahan. Diletakkan di atas sebuah tonggak, seperti buku lagu di gereja.
Puluhan lagu telah mereka bawakan hanya dalam waktu beberapa hari. Tak ada satupun yang memberikan kesulitan bagi Keira. Singkatnya, dari puluhan lagu yang mereka bawakan, belum ada satupun yang cukup untuk menguji batas kemampuan vokal Keira. Baik nada rendah maupun nada tinggi, suara Keira seperti tanpa batas.
Beberapa lagu dengan tarikan vokal yang panjang juga dilibas tanpa ampun, seolah dia memiliki paru- paru ketiga untuk menyimpan napas lebih lama dari orang biasa.
“Kamu nyanyi potong bebek angsa pun kedengaran enak kali Ra.” Dion terkagum- kagum setiap kali mereka menyelesaikan satu lagu. Setiap kali mendengar Keira bernyanyi, dia merasa seolah jiwanya dibawa terbang dan hanyut ke dalam setiap lagu yang dinyanyikan. Jika biasanya dia bermain drum untuk mengiringi nyanyian, sekarang dia bermain drum secara ritmik. Suara Keira membuat dia terhanyut ke dalam lagu itu dan seluruh gerak geriknya secara otomatis mengikuti lagu itu. Mengalir begitu saja seperti air.
Keira hanya tersipu malu, namun matanya berbinar. Bagi dia, beberapa hari belakangan, sejak mengenal Mei tepatnya, dia seperti mengalami hidup baru.
“Dengan suara seperti ini, kamu harus hapal banyak lagu Ra. Aku yakin, yang pesan lagu ke kamu pasti sangat banyak.” Kata Aldo sambil menerawang. Angannya membubung tinggi, dia yang tadinya menggeluti musik hanya sebagai hobi sekarang mulai membayangkan dapur rekaman.
Vokal Keira telah memecahkan seluruh sekat dan dinding yang tadinya terasa mengurung mereka. Suara Vokal itu telah menghancurkan seluruh batasan yang ada, memutar balikkan seluruh teori yang selama ini di yakini oleh Aldo.