Seperti pergi bertamasya ke luar bumi.
Begitulah perasaan Keira ketika pertama kali melihat kemegahan Ibukota. Setelah lima tahun tinggal di Ibukota. Dari dalam mobil Aldo, dia melihat kendaraan yang menyemut di jalan yang lebarnya sekitar sepuluh kali jalan di depan kosan.
Gedung- gedung tinggi menjulang gagah, mengintip di balik pohon- pohon kiara payung yang tumbuh di sepanjang pemisah jalan. Terlihat rindang, namun kemacetan menghilangkan efek sejuk yang seharusnya timbul.
Ketika mereka berjalan masuk ke dalam Kafe, itu adalah pengalaman pertama bagi Keira untuk berdiri di sebuah gedung yang demikian tinggi. Dia berdiri di samping kaca jendela, memperhatikan jalan raya yang tadi mereka lewati, jauh di bawah dan kelihatan tidak lebih besar dari gagang gayung.
Awan mendung yang menggumpal terlihat sangat dekat di atas kepala, andai tidak ada partisi kaca yang memisahkan mungkin dapat di sentuh dengan tangan. Keira masih memperhatikan pemandangan di luar jendela, sama sekali tidak mengerti bahwa ada yang salah dengan kondisi panggung kecil di Kafe yang telah diisi sebuah band.
Aldo, Dion, dan Mei yang terheran- heran melihat Gio dan kawan- kawannya menguasai panggung langsung mencari Pak Hadi di ruangannya.
“Pak, kami bisa mengerti kalau kontrak kami tidak diperpanjang. Itu hal yang biasa. Tapi kalau kontrak kami belum habis kemudian kami diganti, itu luar biasa.” Aldo setengah mati berusaha mengendalikan emosinya.
“Kontrak kalian tetap berjalan. Kalian tetap mendapatkan pembayaran. Tapi biar The Black Hole yang mengisi posisi kalian manggung. Mereka mau melakukan itu tanpa dibayar.” Pak Hadi berkata dengan tenang. Di mata dia, ini hanyalah masalah bisnis. Mencoba hal baru yang mungkin bisa menaikkan omset, tanpa ada resiko biaya tambahan. Di mata dia semua ini sangat sempurna.
“Masalahnya sederhana kok. Kafe ini hanya mau menaikkan omset. Dan terbukti keberadaan kalian tidak cukup untuk menambah pengunjung di sore hari. Dan kebetulan The Black hole ingin mencoba. Tapi kalian tetap mendapatkan hak kalian sesuai dengan kontrak.” Pak Hadi tidak mengerti, bahwa semua ini akan dibayar dengan harga diri The Caravan yang jelas tercabik- cabik.
Aldo, Dion, dan Mei terbelalak. Mereka jelas mengerti semua taktik busuk Black Hole untuk menyingkirkan mereka.
“Bangsat, biar gue hajar si Gio.” Dion meraung murka.
“Tunggu, Diooon. Maaf Pak.” Mei memegang erat lengan Dion agar dia tidak lepas kendali. Mereka masih berdiri di dalam ruangan Pak Hadi.