Suasana di dalam mobil itu senyap. Semua terkesima mendengar kata- kata Aldo.
“Kita harus tetap tampil. Dan kali ini kita tampil di jam yang paling ramai. Kita tunjukin bahwa kita tidak pantas diperlakukan seperti ini.” Kata Aldo dengan tegas.
“Setuju. Kita harus tetap tampil. Kita bikin Pak Hadi menyesal, kita harus pelihatkan bahwa dia telah membuat keputusan yang salah.” Kata Dion dengan berapi- api.
“Eh…tunggu dulu. Jam tujuh beda loh suasananya.” Kata Mei ragu- ragu.
Aldo dan Dion langsung membalikkan badan dan menatap Mei.
“Lalu? Lu takut?” Tanya Dion.
Mei menarik napas panjang, matanya melirik Keira. Aldo dan Dion tertegun. Maklum bahwa mental Keira yang belum terbiasa manggung mungkin akan terguncang jika berada di atas panggung yang diperhatikan oleh ratusan pengunjung.
“Kalau begitu kita bertiga saja, Keira jangan ….”
“Tapi aku mau ikut.” Keira langsung menyela pembicaraan.
Aldo, Dion, dan Mei tertegun. Mata Keira bulat dan besar, tanpa kedip membalas tatapan mata ketiga temannya. Tekadnya sudah bulat, dia tidak akan membiarkan teman- temannya berjuang sendirian. Teman- teman baru yang membuat dia merasa hidup ini lebih berarti, yang membuat dia merasa bahwa dia memiliki sesuatu untuk dibanggakan. Keira sendiri tidak mengerti, tapi dia ikut marah pada saat melihat teman- temannya marah.
“Aku mau nyanyi. Apapun yang terjadi, kita tanggung sama- sama kan?” Keira mengulang kata- kata Aldo. Aldo terpaksa mengangguk membenarkan.
“Ra. Jam tujuh itu pengunjungnya sangat padat Ra. Suasananya seperti pesta perkawinan.” Kata Mei.
“Lalu? Paling buruk aku akan mendapatkan pengalaman baru kan?” Keira mengulang kata- kata Mei, dan Mei terpaksa mengangguk.
“Aku janji, apapun lagu yang mulai aku nyanyikan, aku akan nyanyikan sampai selesai. Selama di atas panggung, tidak ada pertunjukan yang boleh berhenti setengah jalan.” Kata Keira dengan penuh tekad.
Empat orang di dalam mobil itu saling memandang. Mata mereka bersinar- sinar, di dalam mobil itu keinginan mereka disatukan oleh tekad untuk membuktikan diri. Semangat yang sempat padam kembali berkobar, seperti bara api tertiup angin.
Tepat jam tujuh mereka kembali naik ke atas. Dan Kafe itu sudah terlihat berbeda bahkan sebelum mereka melewati pintu masuknya. Seluruh partisi kaca yang biasanya masih menyisakan cahaya matahari sekarang gelap gulita. Lampu kuning di dalam Kafe meraja lela dan membuat seluruh ruangan berwarna keemasan. Terlihat mewah dan elegan.
Bahkan tatapan pelayan, resepsionis, barista dan kapten Kafe terlihat berbeda. Heran dan curiga, Kapten Kafe berjalan mendekat.
“Maaf, tapi setau saya giliran kalian sudah habis kan ” Dia bertanya.
“Kita datang sebagai tamu kok. Kita mau makan. Masa gak boleh?” Tanya Aldo.
Kapten itu terdiam untuk sesaat, kemudian segera minggir dan memberi jalan. Di dalam Kafe itu suasana telah ramai. Wajah yang terlihat di dalam Kafe itu sangat berbeda dengan yang biasa mereka temukan di saat senja. Secara waktu hanya beda beberapa jam, tapi secara penampilan perbedaannya adalah sebelum dan sesudah mandi.
Wajah- wajah yang lesu dan agak mengantuk sama sekali tidak terlihat. Berganti dengan wajah yang cerah, ceria, dan penuh semangat. Canda dan tawa yang segar terdengar bersahutan dengan suara live band dari panggung yang sedang menyanyikan lagu Adele, someone like you.
Beberapa pengunjung yang berada di dekat panggung terlihat serius memperhatikan permainan Band tersebut, dan tenggelam dalam lantunan merdu vokalisnya yang bernyanyi dengan sepenuh hati.
Aldo memilih duduk di meja kosong yang masih berjarak dua meja dengan panggung. Itu adalah meja kosong yang terdekat dengan panggung. Gio yang sedang memainkan gitar mengangkat wajah keheranan, memperhatikan rombongan Aldo yang sangat menyolok dengan jaket denim yang mereka kenakan, di tengah- tengah pengunjung yang mengenakan jas, blazer, kemeja, dsb. Seperti melihat ikan mujair di tengah- tengah ikan koi.
Gio tidak melepaskan pandangan matanya, dia memberikan sebuah senyuman sinis kepada Aldo saat pandangan mata mereka bertemu. Dasar tak tahu diri, begitu kira- kira arti cibirannya.
The Caravan duduk santai di meja mereka, lagu yang dinyanyikan oleh The Black Hole hampir usai ketika mereka menyelesaikan pesanan kepada pelayan.
Aldo memperhatikan Keira, mata Keira tak berkedip menatap ke arah panggung. Sebuah tekad terpancar dari sorot matanya. Hanya itu yang Aldo butuhkan, keteguhan hati Keira. Lagu Adele yang sedang dibawakan The Black Hole terdengar merdu bagi para pengunjung, namun, tidak demikian bagi dia yang sudah terbiasa mendengar suara Keira.
Mendengar nyanyian The Black Hole hanya membuat Aldo semakin yakin akan kemampuan Keira. Sangat berbeda. Deruman knalpot motor Ducatti jelas tak bisa dibandingkan dengan suara knalpot hasil modifikasi bengkel pinggir jalan. Beda kelas.
Lagu telah selesai dinyanyikan, terdengar sayup suara tepuk tangan yang timbul tenggelam di antara suara tawa dan obrolan di sekeliling mereka. Rombongan The Caravan tidak bersuara satu katapun. Semua kata tidak ada gunanya untuk saat ini, yang mereka butuhkan adalah perbuatan.
Aldo bangkit berdiri dan berjalan ke arah panggung, pandangan mata Gio dan teman- temannya mengikuti seluruh gerakannya, demikian juga beberapa pengunjung yang berada di sekitar panggung.
“Gantian dong, gue sama teman- teman gue mau main beberapa lagu.” Kata Aldo kepada Gio.