Angin semilir yang menemani mereka semua di atas loteng itu menyapu wajah- wajah yang terdiam saat mendengar cerita Keira. Wajah yang terkejut, kesal, kecewa, dan entahlah apa. Cahaya matahari senja yang hanya menyisakan warna kuning tidak cukup untuk menguraikan seluruh perasaan yang tampil di wajah teman- temannya.
Wajah mereka hanya berbayang merah, separuh tersembunyi di dalam siluet cahaya senja. Keira berdiri murung. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia baru saja menghancurkan harapan teman- temannya. Orang- orang yang telah membawanya keluar dari dunianya yang sebelumnya hanya sepanjang jalan antara kosan dan sekolah. Orang- orang yang dengan lantang membuktikan kepadanya, bahwa dia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Orang- orang yang dengan jelas memperlihatkan kepadanya, bahwa mimpi itu sangat mungkin untuk diraih.
“Pantesan kamu diam saja sejak keluar dari ruangan Pak Ginto.” Aldo mendesis, raut wajahnya sulit untuk diungkapkan. Antara terkejut dan marah.
“Kenapa kamu tidak bilang dari kemarin?” Tanya Dion dengan suara keras.
“Dion, suara kamu.” Mei membentak. Kemudian berjalan mendekati Keira, dan merangkulnya.
“Ra, karena ini makanya kamu diam saja di dalam kamar?” Tanya Mei. Sudah tiga hari Keira tidak ikut latihan di atas loteng ini. Sejak keluar dari ruangan Pak Ginto, Keira jelas sangat berubah. Raut wajahnya seperti orang yang mengangkat beban sepuluh bukit.
Keira mengangguk.
“Maaf. Tapi aku gak mungkin menjawab iya.”
“Maaf untuk apa? Kamu nggak salah kok.” Dion berseru keras. Sifatnya yang memang meledak- ledak semakin terlihat menonjol pada saat seperti ini. Dia terlihat sangat geram.