Seorang petugas memperhatikan Keira, mencocokkan nomor peserta dengan data dirinya.
“Kamu Keira ?”
Keira mengangguk. Dia meneguk ludah berkali- kali, berusaha membasahi tenggorokan yang terasa sangat kering. Tirai hitam yang gemulai itu sekarang hanya beberapa langkah di depannya. Semakin dekat terasa semakin menakutkan.
“Tidak ada keluarga atau saudara yang menemani?” Tanya petugas itu dengan heran. Matanya mencari- cari di belakang Keira. Dia berhenti mencari setelah melihat Keira menggeleng. Sinar matanya berubah trenyuh melihat gadis di depannya yang berdiri dengan mata bulat dan geraham yang mengeras, otot leher menegang serta tangan yang gemetar.
“Jangan takut. Kamu nggak sendirian. Aku ada di pihak kamu. Ayuk aku temenin, kita masuk ke dalam.” Petugas itu memberi tanda kepada Keira untuk mengikuti. Dia menyibakkan tirai hitam itu.
Sebuah lorong yang remang terlihat. Pendek saja. Hanya berjarak beberapa meter langsung terlihat panggung besar yang terang benderang oleh lampu. Megah, dengan lantai hitam berkilau seperti marmer hitam. Tapi dingin tentunya, berdiri di atas sana tidak akan terasa kehangatan. Dan tidak akan ada kehangatan tangan yang merangkul, hanya ada hunjaman dan tusukan mata yang pedas memperhatikan.
Ribuan orang akan menggunakan jari telunjuknya untuk menghakimi. Jika ia beruntung, hanya telapak tangan yang mereka gunakan untuk bertepuk.
Di atas panggung masih ada seorang pemuda, rambutnya panjang dan diikat ala rocker, dengan anting besar di kuping. Sabuk gitar menggantung di pundaknya, dia menyabet gitarnya dengan jari sambil menyanyikan lagu country road.
Namun tidak berlangsung lama. Bunyi menyebalkan yang mirip klakson bus itu berturut- turut terdengar. Tiga kali. Dan pemuda itu menghentikan nyanyiannya, disertai suara berdengung dari penonton yang berjumlah ribuan.
Ribuan !
Keira mengeraskan gerahamnya, namun percuma. Dia merasakan gerahamnya masih bergetar gentar, buku jarinya yang mencengkeram buku lagu tua terlihat bergetar. Tubuhnya terasa dingin.
Petugas yang berdiri bersama dia memperhatikan, dan tangannya menggenggam bahu Keira.
“Hei, jangan takut. Tidak semuanya berakhir seperti ini. Kamu harus berpikir dengan cara sebaliknya. Tidak semua orang memiliki kesempatan ini. Kamu sudah berada di sini, dan kamu termasuk yang beruntung mendapatkan kesempatan ini. Jangan disia- siakan. Pergunakan kesempatan ini dengan sebaik- baiknya. Setuju?”
Keira beradu pandang dengan petugas yang berdiri sambil tersenyum memandangnya. Dia melihat wajah ramah yang dengan hangat berusaha menentramkan hatinya. Dia menghela napas panjang, menggigit bibir dan dengan mata basah mengangguk. Petugas itu takkan pernah mengerti, alangkah besar arti kata- katanya itu kepada Keira. Seperti mendapatkan segelas air sejuk di tengah perjalanan panjang mengarungi padang pasir.
Pemuda itu dengan tabah melangkah mundur dan memberi senyum kepada Keira. Dia sangat berbesar hati, dia memberikan sebuah tepukan halus di pundak Keira sambil mengatakan, “good luck.”
Pemuda itu menghadapi kekalahan dengan mental seorang juara.
Keira kembali meneguk ludah. Kagum pada keteguhan hati pemuda yang sekarang tampak punggung itu.