Siang meraja. Panas sang surya yang menimpa puncak kepala tak menghentikan ekspansinya di sana. Menelusup jauh dia, menggerayangi lapis demi lapis kulit kepala. Ini sudah sangat terlambat. Seharusnya pagi-pagi buta aku sudah merapat. Tubuhku terasa berat. Berat oleh usia, berat pula dengan muatan sarat. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan samudera berpagar lengkungan langit.
Dan di tengah bentangan ini, berjuta bahtera tengah berlayar, melintasi Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Selat Malaka, Laut China Selatan, hingga ceruk-ceruk tak bernama. Tidak semuanya berlabuh di dermaga. Ada juga yang tenggelam, yang menghantam cadas karang, yang terbalik, yang dilumat kobaran api. Tetapi, jumlah itu tetap belum seberapa, dibandingkan seberapa banyak niat yang terlunasi, raga-raga yang berhasil sampai ke destinasi, dan hajat hidup yang mengalir bersama distribusi. Lantas, kenapa manusia-manusia di atas tubuhku ini masih saja berlagak?
Tak banyak yang peduli saat bayang-bayang benda mulai bergeser, dari miring kemudian tegak, tepat berada di bawah pijakan kaki, lalu miring lagi, lalu raib di bawah cahaya malam, pertanda waktu untuk menghadapNya pun telah datang berulang-ulang. Kurang baik apa lagi Dia? Saat sang musafir pun diperkenankan meringkas waktu perjumpaan denganNya, tak banyak jua yang beranjak. Meninggalkan peraduan barang sejenak. Lebih banyak yang hanya melamun panjang, dan baru bangkit saat sentra kekuasaan di dalam tubuh mereka mulai mencengkeram, mengaut, menendang-nendang.
Ahh. Aku mulai bosan. Penat saja mengomel dan berkeluh kesah. Tubuh renta ini masih saja terseret-seret. Tak akan mampu kutandingi laju speedboat dan ferry, ataupun membungkam bibir penumpang yang siang ini kian ramai merepet.
“Kenapa belum juga sampai? Kalau terlambat begini, alamat bakal panjanglah letehan istriku.” Seorang pria di sudut geladak bersungut kesal.
“Salah kaulah! Kalau mau cepat sampai, jangan menumpang ikan paus tua ini! Naiklah si burung besi! Pagi tadi kau buang hajat di kampung, siang ini kau sudah bisa menghirup debu ibukota.” Rekan seperjalanannya tergelak. Banyak yang mendengar, namun tak ada yang tertawa.
Dan dia menyebutku ikan paus tua. Hmm. Ingin sekali kulempar dia ke laut.
“Kenapa harus bayar? Kasur ini gratis ‘kan?”
“Gratis dengkulmu! Coba baca tiket kalian! Mana ada kasur gratis? Seharusnya kalian bersyukur, baru sekarang aku menagih!”
Ribut-ribut mulai terdengar dari kelas ekonomi. Itu pasti Baron. Tumben, dia baru melakukannya hari ini. Tetapi, skenarionya tetap sama. Memaki penumpang yang enggan ia palak. Aku sudah hapal mati suaranya. Juga kata-kata yang paling sering ia lontarkan. “Jancu’!” “Pante’!” “Bahlul!”
Aku sudah lupa, sejak kapan tubuh rentaku ini mulai ditumpangi si biang rusuh itu. Sebenarnya, Baron tidak seratus persen salah. Mereka saja yang malas menjewernya. Ya. Mereka. Para pria berseragam itu. Baron dan para pengikutnya jadi leluasa mengangakan taring, menancapkan kuku, mengancam mangsa untuk mengeluarkan isi dompet yang tak seberapa demi membeli kenikmatan yang tak seberapa pula : kasur tipis beraroma rokok, ingus, bir murahan, ludah basi, keringat basi hingga makanan basi. Padahal, kekhilafan para mangsa itu tidak fatal-fatal amat, hanya sedikit terlambat tiba di dermaga. Kalah cepat naik ke kapal. Salah besar mereka menurutku justru hanya satu : terlalu takut dengan Baron.
Ah. Mengapa pula aku mengomel lagi? Toh selama perjalanan ini ada, Baron akan selalu ada. Kalaupun suatu saat Baron yang satu itu menemui ajalnya, akan ada puluhan Baron-Baron lain menggantikannya.