Langit hitam kelam. Bintang tiada. Bulan tampak seludang malam ini. Dan aku masih tertambat di dermaga. Di tengah keheningan malam bertemankan bunyi jangkrik dan bisik-bisik di balik semak. Dari dulu selalu begitu.
Oh ya. Namaku Aries. Aku tidak pernah tahu dari mana asal namaku. Mungkinkah dari gugus rasi bintang? Ataukah yang pertama kali memilikiku, namanya Aries? Entah. Tetapi, jangan harap nama itu akan kau temukan di tubuhku. Tidak seperti kapal-kapal berbendera Pelayaran Nasional Indonesia, dari kejauhan saja kau sudah dapat melihat nama mereka terpampang dengan huruf-huruf besar pada tubuh yang juga berbobot serba besar itu.
Apakah kau pikir aku pernah bertanya darimana asal-usulku? Siapa yang merakitku? Ho-ho. Tentu saja tidak! Toh orang-orang di sekitarku tetap memanggilku Aries meskipun tidak kumiliki selembar akte kelahiran seperti halnya si Kelud, Siguntang, Sirimau, ataupun Ocean Express, Penguin Fast, Wave Master, Marina Jet.
Nama-nama terakhir ini, keren bukan?
Ya. Tentu saja mereka keren! Namanya juga maestro pelayaran antar negeri. Mesin-mesin mereka awet dan terawat, lancar beroperasi. Melintasi samudera, menyusuri lautan lepas menuju negeri jiran. Juga tak pernah sepi penumpang. Penumpang yang tak pernah termakan isu hubungan antar tetangga. Bahkan segelintir darinya tidak takut pada pecutan cambuk rotan yang bisa menyetrum, pada suntikan maut yang konon membuat seseorang hilang ingatan selamanya, diberikan sebagai hukuman kepada mereka yang nekad datang secara “haram”. Mereka-mereka ini, akan kau ketahui sebentar lagi.
Ah. Kenapa mereka lama sekali? Hey! Aku baru teringat sesuatu. Omong-omong, pria-pria yang masih berdiri di dermaga itu, belakangan sering mengeluhkan kondisi teman-temanku yang melintasi perairan Jawa untuk sampai ke pesisir ini.
Ada banyak kapal baru dihibahkan, tetapi kapal-kapal tua masih saja berlayar. Kakek Renjana contohnya. Usianya sudah tujuh belas, usia yang bagi umat manusia menjadi masa paling indah, penuh bunga-bunga, namun bagi kami, tanpa perawatan yang memadai, pada usia itu kami tak ubahnya seonggok barang apkir.
Apalagi kakek Renjana, aku yakin jasad rentanya telah sering mengangkut beban melampaui kapasitasnya. Bukan dekat-dekat pula rutenya. Dia pasti pernah mengeluh, sesekali mungkin bersorak gembira saat mesinnya mendadak macet, ataupun terjadi korslet ringan pada kabel bahan bakar, apapun yang membuat jadwal pelayarannya tertunda.
Sementara aku, sejak aku dilahirkan, jasadku memang lebih tangguh dan lincah. Juga lebih mungil. Meskipun rangkaku terbuat dari kayu, bukan besi atau fiberglass, tetapi pria-pria yang setiap hari menaiki tubuhku ini tidak pernah alpa merawatku. Mungkin, karena jalur yang kutempuh memang sangat kontradiktif dengan apa yang selama ini dilayari kakek Renjana dan teman-teman seangkatannya.
Perairan yang kulalui bukanlah samudera luas, tetapi melintasi ceruk demi ceruk, dari satu pelabuhan tak bernama ke pelabuhan tak bernama berikutnya. Pada saat-saat tertentu, aku harus pasrah diperlakukan semena-mena. Nanti kau pun akan tahu apa yang kumaksud.
Hmm. Itu mereka. Berjalan melintasi dermaga dengan langkah bergegas-gegas. Berpasang-pasang sendal dan sepatu berderap-derap saat menginjak dermaga. Tentu, mereka tak perlu khawatir seorang bayi akan terbangun, atau pasangan pengantin baru yang tengah memadu kasih akan merutuk, karena dermaga ini, juga pelabuhan ini, berada jauh dari pemukiman. Jika ada yang seharusnya merasa terganggu, pastilah mereka yang kini masih kasak-kusuk di balik rerimbunan semak bakau itu.
Andai saja seorang peri mendatangiku, memberiku kesempatan untuk menyampaikan tiga permintaan, maka permintaan pertamaku adalah, aku ingin bertanya pada mereka yang masih betah berada dibalik rerimbunan itu. Pertanyaan yang sesungguhnya telah kupendam bertahun-tahun lamanya. Bagaimana rasanya kenikmatan saat melakukannya ditingkahi bunyi denging nyamuk, beralas tanah lembab, semak ilalang sebagai kelambu dengan risiko digigit lipan, kelabang bahkan ular berbisa?
Ahh. Belum tuntas lagi khayalku. Langkah-langkah itu telah berakhir di sisi tubuhku. Pria itu datang lagi. Pria bernama Dirga. Seperti biasa, dengan tampang sok kerennya itu. Tak terhitung sudah, berapa kali dia datang bersama rombongan gadis-gadis melintasi dermaga ini. Tanpa pernah sekalipun ia ikut menyeberang pulau. Itu sama sekali bukan tugas Dirga, melainkan tugas para “mitra”nya. Aku tidak hapal nama dan wajah mereka. Namun aku sangat mengingat Dirga. Dialah pria yang paling senior, malang melintang di bisnis ini. Ya. Bisnis. Aku mendengar mereka – orang-orang itu – menyebutnya begitu.
“Ayo naik!”
Itu bukan suara Dirga. Pria itu tak pernah bicara keras. Wajahnya selalu setenang riak sungai. Tidak pernah berombak kencang apalagi tersaput gelombang badai. Wajar saja kalau gadis-gadis yang ia antarkan ke dermaga ini, banyak yang menaruh simpati padanya. Namun, aku yakin simpati itu akan berubah menjadi benci bahkan dendam kesumat begitu mereka tiba di seberang dan menyadari siapa sesungguhnya Dirga.
Hey! Ada apa dengan gadis itu?
Di atas dermaga, seorang gadis berparas manis masih saja bergeming, berdiri kaku di samping Dirga meski hampir semua rekannya telah meloncat ke tubuhku.
“Mas ....... tidak ikut?” Ia bertanya pada Dirga. Matanya menatap penuh harap. Dirga menggeleng.
“Ayo cepat naiklah.” tukas Dirga. Tampak sedikit gelisah.
“Aku tidak akan naik kalau mas tidak ikut!” Suara halus itu tiba-tiba melengking.
“Jangan ngomong begitu. Aku bukan siapa-siapa dan tugasku hanya mengantar kalian sampai di sini. Kau bisa dimarahi kalau tidak naik,” Dirga mencoba membujuk.
“Pokoknya aku ndak mau pergi kalau mas ndak ikut!”