Senandung Bahtera

Riawani Elyta
Chapter #3

Tabiat Orang Pesisir #3 - Pompon

Jangan meledek atau mencibir. Namaku memang Pompon. Hanya sedikit terseleo lidah, oleh orang-orang yang menyebut pompong. Benar. Aku memang pompong. Perahu kayu bermesin disel itu. Kecil saja bobotku. Daya tampungku tak lebih dari tiga puluh orang. Dan tempat duduk yang kusediakan, hanya berupa papan-papan kayu yang melintang.

Perjalananku dekat-dekat saja. Hanya dari satu pulau ke pulau lain yang berdekatan. Mengangkut penumpang yang hendak mengunjungi saudara mara, kaum kerabat, anak-anak SD yang bersekolah di seberang pulau, nelayan yang turun melaut. Atau sekadar menemani para pemancing.

Beberapa hari belakangan ini, kulihat wajah Bah, tuan pemilikku yang wajahnya telah berkedut-kedut meski usianya baru empat puluh lima lebih sedikit itu, kian bertambah saja kedutannya. Begitu pula jumlah lipatan didahinya. Seakan ada beban berat tengah mengimpit dahinya yang sempit dan legam.

Mungkin kau heran mengapa dia dipanggil Bah. Sebenarnya nama Bah cukup panjang. Bahrul Ulum. Tetapi, sejak beberapa orang berlidah cadel selalu salah memanggil nama depannya, harusnya Bahrul menjadi Bahlul, Bah memutuskan untuk menyingkat saja namanya. Di kampung kami bahlul artinya bodoh, dungu. Meskipun Bah tak tergolong pintar, tetapi ia percaya benar bahwa nama adalah doa. Orang tuanya dulu menyembelih dua ekor kambing saat menamainya Bahrul Ulum. Jadi, Bah tak sudi kalau orang-orang menyebutnya si dungu hanya karena lidah mereka gagal menyebut huruf ‘r’.

Malam ini Bah tak melaut. Alasannya sedang tak enak badan. Juga karena gelombang pasang sedang naik. Bergairah menari-nari mengempas tepian pantai. Salah-salah, perahu yang tengah berlayar pun ikut terempas. Lalu karam. Pengemudinya tenggelam. Terdampar entah di pesisir mana. Syukur-syukur masih bisa ditemukan. Tak jarang, pulang hanya tinggal nama.

Begitulah yang panjang lebar Bah katakan kepada Jamiah, istrinya yang bertubuh tambun tetapi berparas manis itu jika musim gelombang datang. Berharap Jamiah tak lantas berleteh (mengomel) jika pada musim-musim seperti itu, hidup mereka sekadar “cukup makan”.

Sosok Jamiah, memang terlihat tak pernah kekurangan makan, meski musim utara dan gelombang pasang datang silih berganti. Empat kali beranak, tubuh Jamiah pun melar empat kali. Bukan tabiat perempuan pesisir untuk mati-matian mempertahankan bentuk badan agar tetap langsing. Ataupun mengikuti program pemerintah agar mengerem keinginan beranak banyak. Kata pemerintah, punya dua anak itu lebih baik. Demikian Bah pernah bercerita padaku ketika itu. (Bah memang suka bercerita dan bercakap-cakap di depanku, bercerita apa saja yang ia mau, jadi jangan heran kalau aku tahu persis semua hal tentang Bah, keluarganya, masa lalunya, apapun peristiwa yang Bah alami. Tetapi, tentu saja Bah baru berani menceritakan semua itu padaku ketika dermaga tengah sepi).

Saat itu aku baru saja mengantarkan belasan orang berbaju putih. Sebagiannya membawa kertas warna-warni bertuliskan kalimat dan gambar jari telunjuk dan jari tengah yang teracung ke atas. Kertas itu lalu dibagikan kepada hampir semua warga perempuan termasuk Jamiah. Kertas yang esok harinya dipakai Jamiah untuk membungkus dan menyimpan cabe-cabe merahnya di dalam kulkas.

Dan mungkin, apa yang tengah memenuhi benak Bah malam ini, tak jauh-jauh dari perkara kertas warna-warni itu. Dua bulan lagi tahun ajaran baru. Si sulung sudah kelas sembilan. Kalau lulus ia akan melanjutkan sekolah. Nomor dua kelas tujuh. Nomor tiga, yang terpaut hanya setahun, kalau lulus akan melanjutkan ke SMP. Sementara si bungsu, yang dulu tak diharapkan karena lahir setelah kakaknya berumur tujuh tahun, pasti akan merengek jua minta dimasukkan ke sekolah.

Kalau sudah terdesak, barulah Bah menyesal beranak banyak. Dan kalau sudah kepepet begini, berusaha mati-matian diingat Bah isi laci lemari Jamiah. Berharap ingatannya akan bertemu pada sebentuk cincin ataupun seutas rantai milik Jamiah, ataupun warisan ibunda Jamiah yang belum terjamah. Nyatanya ingatan Bah berakhir buntu. Tidak ada lagi yang tersisa didalam laci lemari. Semua perhiasan yang jumlahnya pun tak seberapa itu, sampai detik ini masih tersimpan di kantor bercat hijau yang selalu bangga dengan mottonya “menyelesaikan masalah tanpa masalah” itu.

Bah tak tahu mengapa mottonya demikian. Tertulis diatas spanduk yang terpancang di halaman kantor, juga yang selalu didengung-dengungkan di radio saat siaran berita pagi. Karena yang dirasakan Bah justru perkara sebaliknya. Masalah demi masalah justru datang bertubi-tubi disaat belum satupun perhiasan milik Jamiah berhasil ia tebus sementara belum ada lagi barang berharga hendak digadai. Dan jika Jamiah sudah bicara tentang harga beras, bawang, cabe, minyak goreng yang lepas landas dan tak pernah sekalipun terjun bebas, ataupun rengekan si bungsu yang minta dibelikan mainan, ujung-ujungnya Jamiah pasti mengungkit-ungkit soal perhiasan.

Tak salah juga kalau Jamiah berleteh, karena semua perhiasan yang menginap di pegadaian itu adalah miliknya, pemberian almarhum ibundanya, tidak satupun pemberian Bah. Satu-satunya pemberian Bah adalah sebentuk cincin kawin. Dan itu adalah satu-satunya yang dipertahankan Jamiah sebelum dipindahkan Bah dari laci lemari ke rumah berdinding hijau.

Sempat pula Bah berprasangka, begitu kuatnya keinginan anak-anaknya untuk bersekolah, tidak lain adalah karena hasutan pemerintah. Pemerintah yang menjanjikan sekolah bebas biaya namun pada kenyataannya tidak benar-benar gratis. Pemerintah yang begitu giat berkampanye bahwa hanya anak-anak bersekolah saja yang kelak akan sukses.

Ya. Hanya itu realita yang mampu terjangkau oleh otak Bah. Otak yang hanya sempat enam tahun menjalani proses berpikir di bangku sekolah. Dan Bah sudah merasa cukup. Toh nenek moyangnya, bahkan sampai ke generasi terakhir diatasnya, rata-rata tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Yang penting hidup tenteram sambung-menyambung. Tenteram di jiwa tenteram di lambung.

Dan sekarang ini, giliran kemajuan teknologi pula yang menambah pening kepala Bah.  Saat-saat gelombang tenang dan purnama bersinar terang, rumah para nelayan akan dipenuhi berbagai barang elektronik keluaran terbaru. Saat ikan melimpah ruah, ratusan ribu pun dapat mengucur dalam sehari. Dan tidak perlu menunggu bulan berganti untuk mengisi rumah mereka yang tak terlalu besar itu dengan televisi berlayar datar, kulkas, oven listrik, mesin cuci hingga home theatre.

Lihat selengkapnya