Mendung menggantung di bibir langit. Cuaca mulai gelap. Awan membumbung di awang-awang. Seolah mengisyaratkan air dari langit akan segera tumpah ke bumi. Membasahi permukaan bumi yang kerontang. Menyirami jiwa-jiwa yang kering. Membasuh wajah dunia supaya ceria dan tak bermuram durja. Agar selalu teduh dan segar dalam hiruk pikuk masalah yang tak berkesudahan.
Menurut perkiraan cuaca yang disiarkan sebuah stasiun teve swasta semalam, hari ini Jakarta akan diguyur hujan lebat. Sudah beberapa hari ini ibukota di”jatuhi” hujan bertubi-tubi sehingga mengakibatkan banjir di mana-mana. Kalau hujan turun lebat, wajah Jakarta akan semakin menyiksa. Genangan air, banjir dan kemacetan menjadi cerita horor yang paling ditakuti warga. Namun anehnya meski menyiksa, Jakarta masih laksana gadis cantik yang menggoda jutaan orang daerah untuk mengadu nasibnya.
Musim sekarang sudah tak dapat dipastikan lagi. Padahal dulu sebelum reformasi, Indonesia mengenal musim hujan dari bulan September hingga Maret, lalu musim kemarau mulai bulan April hingga Agustus. Maka ada singkatan bulan Januari yakni hujan sehari-hari hehehe. Namun sejak 1998, tak hanya sistem pemerintah yang direformasi, bahkan sistem pembagian musim pun ikut di”rombak” total. Memang hebat mahasiswa kita ya. Sekarang bulan Januari bisa menjadi kemarau sehari-hari, atau bulan April yang mestinya panas malah hujan tiada henti. Hmm.
Ada adigum mengatakan di dunia kini sudah tak ada yang pasti. Yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Karena manusia yang dituntut sebagai Khalifah di muka bumi sudah lupa akan tugasnya. Mereka sibuk mengeruk isi perut bumi, membangun gedung yang tinggi dan menumpuk harta serta materi. Seolah tak ada waktu untuk memikirkan tugasnya menjadi pemimpin bumi, yang mencintai sesama dan mengayomi penduduk bumi. Padahal Tuhan sudah mengamanahkan tempat kita berpijak kepada manusia, mahluk yang diberi kemuliaan akal yang tinggi. Amanah yang tak sanggup dipegang mahluk lain, malaikat sekalipun.
Anak muda itu tidak mau terbawa emosi memikirkan nasib negeri ini. Bagaimana mau memikirkan, sedangkan untuk makan sehari-hari saja, dia masih bingung. Ah biarlah khalifah itu menjadi tugas para pemimpin negeri yang sudah di”baptis” untuk menjadi pengelola bangsa ini.
”Saya mah apa atuh” bisik hati kecilnya, teringat sebuah tembang dangdut.
****
Anak muda itu berhenti melamun ketika air tampias menciprati ke mukanya. Air dari jendela gedung, mestinya tak sampai mengenai wajah polosmua. Itu pertanda hujan sore ini tidak main-main, bahkan terlalu serius. Bahkan saking derasnya, suara orang pun tak bisa didengar.
Anak muda itu bernama Zulfikar. Umurnya 25 tahun. Perawakannya gagah, tinggi dengan jenggot tipis. Zul, begitulah orang-orang memanggil wartawan muda itu. Sebenarnya profesi itu bukan cita-citanya. Namun kegagalannya menembus fakultas kedokteran membuatnya belajar di jurusan komunikasi sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang. Dunia jurnalistik adalah pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Zul berusaha menjalani apa yang ada, sambil mencari peruntungan yang lain
Jam dinding menunjukkan angka tiga lewat lima menit. Sore itu, Zul masih berada di kantor Departemen Agama, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Zul baru saja usai melakukan wawancara seputar haji dengan seorang pejabat eselon dua. Hasil wawancara ini sebagai bahan tulisannya untuk rubrik ”persiapan ke tanah suci”, di majalah Mabrur, tempat Anak muda itu bekerja.
Zul melangkahkan kaki ke ruang media center, ketika hujan deras menghujam ke bumi. Mustinya anak muda itu lekas kembali ke kantor, karena sore itu teman-temannya sesama redaksi majalah Mabrur mengajaknya menemui pak Waluyo, sang pemilik majalah Mabrur. Rizal, Bondi dan Fadoli sudah memberitahu Zul untuk bertemu bos besar untuk mengajukan kenaikan gaji. Maklum harga kebutuhan pokok dan BBM sudah naik, tapi honor awak media berbasis agama itu sudah setahun lebih belum disesuaikan. Zul baru bergabung 6 bulan silam.
Mas Imam, masih asyik menulis berita di ruangannya samping ruang media center, ruangan untuk awak media yang bertugas di Kemenag. Pegawai bagian humas yang berperawakan kecil itu menjadi koordinator wartawan komisariat Kemenag. Orangnya ramah, murah senyum dan sangat hati-hati berbicara. Zul ingin segera kembali agar bisa ikut rapat di kantor. Lalu Zul menghampiri mas Imam untuk pamitan.
”Zul diluar masih hujan lebat, sebaiknya tunggu disini saja, apalagi banjir dimana-mana,” cegah mas Imam.
Zul merapat ke jendela memandang gelapnya langit Jakarta. Hujan menghujam deras ke perut bumi. Anak muda itu memandang dengan mata kosong. Dia sadar tidak mudah menerjang hadangan hujan dengan motornya. Cuaca di luar sepertinya tidak mengijinkan Zul menemani rekan-rekannya menghadap pak Waluyo. Anak muda itu pun mengirimkan sms kepada Bondi, meminta maaf karena tidak bisa ikut rapat.
”Berarti kamu ikut keputusan kita ya,” balas Bondi.
Zul membalas ”ya”.
Suasana Press room selepas ashar nampak lengang. Di situlah tempat puluhan wartawan biasa mangkal jika bertugas di Kemenag. Hanya Soleman, seorang fotografer freelance, sibuk mengotak-atik kamera lawasnya. Wartawan Kemenag biasa memanggilnya ”Pak tua”. Disebut Pak Tua, karena umurnya yang sudah senja, meski lebih dari 60 tahun, namun dia masih bekerja. Tenaganya lemah tetapi semangatnya masih membara. Dia termasuk wartawan ”orde lama” yang masih bertahan di instansi pemerintah itu.
Mas Imam menghampiri Anak muda itu di ruang wartawan.
”Gimana tadi wawancara dengan pak Direktur? ” tanyanya.
”Sudah mas, kata beliau banyak perbaikan yang akan dilakukan pada musim haji tahun ini,” jawab Zul.