Yahya meludahkan daun akasia yang baru saja dia kunyah. "Alhamdulillah!" serunya berucap syukur dengan wajah berseri karena telah menemukan tumbuhan akasia yang sekian lama ia cari.
Usai menunaikan salat Dhuha, Yahya segera bergegas menuju sungai untuk mencari rezeki pagi itu. Ya, di pagi yang cerah ini, Yahya berkeinginan untuk menangkap ikan!
Namun, belum lama ia sibuk, tiba-tiba terdengar suara sekumpulan wanita desa Kyati yang tengah melintas untuk menuju pasar. Mereka berkerudung kain selendang dan menenteng sebuah wadah dari anyaman bambu di tangan.
"Ya Allah gusti! Kamu benar-benar lapar, ya, hingga harus memakan daun segala?" tegur salah seorang di antara mereka dengan heran.
"Yahya! Daun akasia itu tak bisa dimakan begitu," sahut yang lain dengan nada mencibir.
Yahya hanya tersenyum sabar, tak sedikit pun ia membalas teguran para wanita itu. Bukan hal baru baginya menjadi bahan pergunjingan penduduk desa. Siapa yang tak mengenal Yahya? Pemuda malang yang kehilangan orang tua dan seluruh sanak saudaranya. Mereka semua gugur dibantai tentara Belanda kala ia masih belia, baru menginjak usia enam tahun.
Ayah Yahya adalah seorang pemimpin pejuang yang menolak keras penjajahan Belanda di bumi pertiwi, sebuah sikap yang membawa petaka bagi keluarganya. Kediaman mereka dijarah habis, menyisakan Yahya dalam kemiskinan dan kesendirian. Hanya ia, si bungsu, yang selamat dari tragedi itu. Ia diselamatkan oleh seorang Kyai terhormat di provinsi Pranang, dan oleh sebab itu, Yahya dibesarkan sebagai anak angkat sang Kyai.
Takdir Allah menuliskan bahwa Kyai Ahmad tidak dikaruniai anak lelaki, hanya dua putri. Si putri sulung telah menikah dan hidup dengan suaminya, seorang veteran Belanda yang telah masuk Islam. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah besar di desa Kyati.
Sementara itu, si putri bungsu, Nafisah, berusia delapan belas tahun masih gadis hingga saat ini dan tinggal di rumah ayahnya sendiri. Nafisah terkenal sebagai kembang desa, elok paras dan budi pekertinya, membuat namanya harum seantero wilayah.
Sejak kecil, Nafisah dan Yahya sering bermain bersama. Namun, kala Nafisah mulai tumbuh dewasa, Yahya yang tahu diri segera memohon izin kepada ayah angkatnya untuk tinggal di tempat terpisah. Sejak memutuskan keluar dari kediaman ayah angkatnya, Yahya tidak pernah lagi bergantung hidup kepada Kyai Ahmad.
Di antara para wanita yang sedang mencibir terhadap Yahya, seorang ibu desa berbisik pada kawannya, "Bukankah Yahya baru saja pulang dari Kabupaten Andaru setelah turut membantu pembangunan jembatan di sana? Pasti ada sedikit hasil yang ia bawa pulang, bukan?"
Yang lain menjawab dengan nada pilu, "Entahlah, kemana perginya hasil kerja kerasnya. Ya Allah gusti, lihatlah, betapa menyedihkan keadaannya. Demi mengganjal perut, ia harus makan daun. Sepertinya dia sangat kelaparan hingga makan daun saja sudah membuatnya berbinar seperti orang linglung. Hidup sendiri di gubuk reyot, usia sudah dua puluh lima tahun, tetapi belum juga menikah …."
"Hei, mana mungkin ada orang tua yang sudi menikahkan anak gadisnya pada lelaki miskin dan melarat seperti itu? Kalau aku sih tak tega putriku harus hidup menderita."
Yahya hanya menarik napas panjang mendengar gumaman mereka. Ia tetap melanjutkan mengumpulkan daun akasia dalam keranjang bambunya, menahan sabar menghadapi tatapan mencemooh dan merendahkan dari orang-orang yang melintas.
Dua hari lalu Yahya memang baru kembali dari kabupaten Andaru, sebuah wilayah di bawah kekuasaan Hindia Belanda, yang mana para nelayan di sana menangkap ikan menggunakan daun akasia dengan cara menghaluskannya untuk dijadikan bius ikan.
Karena berbagai jenis akasia tumbuh di desa Kyati, Yahya mencoba mengunyahnya untuk memastikan ia telah memilih jenis yang benar, sehingga ia bisa mulai mencoba teknik menangkap ikan yang satu ini di sungai Yongi. Namun, banyak orang yang salah paham dan mengira dirinya makan daun karena kelaparan.
Tiba-tiba seorang bocah lelaki berlari menghampirinya dengan raut sangat penasaran. "Paman Yahya sedang apa? Aku penasaran ingin lihat!" serunya penuh semangat.
Namun, belum sempat bocah laki-laki itu ingin ikut memegang daun yang Yahya telah kumpulkan, tiba-tiba seorang wanita tua berteriak dari kejauhan, "Astaghfirullah, Harun! Cepatlah! Jangan berhenti terus!" serunya sambil melotot pada anak laki-lakinya itu.
Wanita itu adalah seorang janda miskin yang suaminya dibunuh oleh penjajah. Harun kecil kini membantu ibunya bekerja menanam padi milik juragan Hasan. Pekerjaan itu berat baginya, dan ia sering kali merasa lelah dan ingin bermain sejenak, tapi ia tahu ibunya akan marah.
Sambil merengut, ia akhirnya membantu Yahya melumat daun akasia dengan tangan kecilnya, mengabaikan seruan ibunya. Melihat pemandangan itu, Yahya tersenyum geli.
"Berani sekali kamu melawan ibu, ya? Jangan pulang sekalian kalau begitu! Lihat nanti, akan kuadukan kamu pada Ki Amru!" ancam ibunya.
Wajah Harun seketika pucat pasi kalah mendengar nama Ki Amru disebut oleh ibunya. Siapa yang tak mengenal sosok Ki Amru? Dia adalah seorang kakak tua berusia 80 tahun yang memiliki kesaktian mandraguna. Meskipun usianya sudah sangat sepuh, tetapi tubuhnya masih sangat sehat dan prima bahkan sulit dikalahkan oleh pemuda-pemuda tangguh. Konon ia bersekutu dengan makhluk gaib untuk memperoleh kesaktian yang menggentarkan itu.
Sosok Ki Amru sangatlah menyeramkan hingga membuat banyak ibu di desa Kyati yang menggunakan namanya untuk menakuti anak-anak mereka yang nakal dan sulit dinasehati. Terbukti, setelah memberikan ancaman dengan menyebut nama Ki Amru, tanpa menunggu lama bocah lelaki itu pun segera berlari mengejar ibunya dengan ekspresi ketakutan.