Alhamdulillah ikan segar yang tadi pagi mereka bawa sudah ludes terjual. Mereka menjual ikan di gubuk kecil di pinggir pasar. Sementara hari masih pagi, tapi sinar matahari sudah mulai menghangatkan.
Dengan tangan berdebu, tapi hati lega, Yahya melangkah mendekati Musa dan duduk di sampingnya sambil merapikan tikar kecil yang baru saja mereka gunakan untuk meniagakan ikan-ikan hasil tangkapan mereka tadi.
“Guru, apa kiranya Guru tahu di mana ada pekerjaan tambahan yang sedang dibuka?” tanyanya sopan, seraya melempar pandangannya ke arah pasar yang mulai lengang dan tampak sepi.
Musa menoleh perlahan. Wajahnya yang dipenuhi gurat sangar dan ketegasan kini terlihat menunjukkan ekspresi keheranan. “Kamu masih ingin bekerja lagi, Yahya? Bukankah kamu sudah menjadi penjual ikan? Apakah keuntunganmu hari ini belum mencukupi?”
Zulkifli dan Faruq yang mendengar percakapan itu ikut mendekat. Zulkifli yang selalu gemar bercanda, terkekeh pelan sambil menepuk bahu Yahya. “Hei, Yahya, kamu sungguh serakah mencari pekerjaan, ya? Sudah laku semua ikanmu, masih saja kamu mau bekerja lagi!”
Yahya tersenyum sabar. “Hanya ingin mengisi waktu luang, Zulkifli. Masih pagi, dan pasar sudah mulai lengang.”
Faruq mengangguk, tampak memahami maksud sahabatnya. “Barangkali benar katamu, Yahya. Daripada menganggur hingga sore, lebih baik carilah kegiatan lain.”
Yahya tersenyum seraya menggeleng pelan. “Aku hanya ingin mengisi waktu luang, Zulkifli. Hari masih pagi, baru jam sepuluh, sedangkan aku sudah meniagakan seluruh ikanku,” jawabnya tenang.
Meski Yahya tampak tenang, dalam hatinya ada dorongan lain yang lebih dalam. Harapan untuk meminang Nafisah, gadis yang telah lama memenuhi hatinya, memacu semangatnya. Namun, ia memilih memendam niat itu. Jika orang-orang tahu bahwa ia yang seorang pemuda miskin ini berani berangan-angan meminang putri Kyai Ahmad, sang kembang desa, pastilah dirinya akan menjadi bahan tertawaan.
Namun, Yahya bersungguh-sungguh ingin memperjuangkan Nafisah. Masalah dirinya ditolak atau diterima nantinya, itu urusan nanti. Intinya sekarang Yahya akan mengusahakannya terlebih dahulu!
"Kalau itu yang kamu kehendaki, Yahya," kata Musa setelah lama terdiam, "aku mendengar kabar bahwa Juragan Zakaria sedang membutuhkan pekerja baru. Saat ini dia tengah mencari orang yang mau membantunya di perkebunan.”
Mendengar hal itu, mata Yahya langsung berbinar cerah. Dia segera mengangguk penuh semangat. “Benarkah itu, Guru?"
Musa mengangguk dengan yakin, membenarkan pertanyaan Yahya. “Namun ingat, Yahya, banyak yang membutuhkan pekerjaan di sana. Jika kamu ingin mencobanya, segera melangkah ke sana. Jika tidak, bisa jadi kesempatan itu diambil orang lain,” jelas Musa dengan nada penuh petuah.
Tanpa membuang waktu, Yahya berdiri dan membungkuk hormat kepada gurunya. “Terima kasih, Guru. Nanti akan kupergunakan informasi ini sebaik-baiknya.”
Zulkifli menepuk bahu Yahya sambil tersenyum lebar. “Jangan lupa bawa kabar baik nanti, Yahya!”
Faruq menambahkan, “Semoga berhasil, sahabatku! Siapa tahu nasib baik menantimu di sana.”
Setelah berpamitan pada Musa dan kedua sahabatnya, Yahya pun melangkah cepat, menuju kediaman Juragan Zakaria. Perasaan harap bercampur debar menyelimuti hatinya. Ini bukan sekadar pekerjaan baginya, tetapi langkah menuju cita-cita yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.