Senandung Cinta di Tanah Terjajah

Qurrati Aini
Chapter #6

6. Rencana Kelam di Balik Aroma Nasi Kebuli

Setelah menunaikan salat Zhuhur, Yahya merasakan ketenangan yang mendamaikan jiwa. Ia melangkah keluar dari masjid dengan semangat baru, harapan akan masa depannya berkilau di ujung pandang. Sesampainya di lapangan, aroma sedap mengundang perhatian perutnya. “Apa itu?” gumamnya, saat matanya tertuju pada sepiring nasi kebuli yang diletakkan di sebuah meja kayu sederhana.


“Ini, Tuan!” seorang pelayan, yang tampaknya sudah terbiasa melayani, menyambutnya dengan ramah. “Nasi kebuli dengan lauk bebek goreng. Silakan, nikmati!”


Hati Yahya melompat kegirangan. Makanan itu terkesan begitu mewah, bagaikan hidangan raja. Aromanya yang menggugah selera berpadu dengan rempah-rempah yang wangi. “Sungguh, terima kasih!” katanya, tak sabar untuk menyantap.


Sementara itu, di sudut lain di kandang kuda milik Juragan Zakaria, lima orang laki-laki yang telah bekerja selama bertahun-tahun di tempat itu—Seno, Asep, Joko, Dodi, dan Tingkir—tengah berkumpul di bawah naungan sebuah pohon rimbun. Mereka duduk melingkar, di hadapan mereka tersaji sepiring tiwul. Tiwul adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong yang dikukus, sering disajikan dalam bentuk bulat-bulat kecil. Rasanya manis dan gurih, namun sangat sederhana, jauh berbeda dengan hidangan mewah yang kini dinikmati Yahya.


“Ah, tiwul lagi! Kenapa kita selalu disajikan ini?” keluh Seno, wajahnya tampak jenuh. “Sudah berhari-hari, kita tidak merasakan yang enak-enak.”


“Betul, Seno! Tiwul tiwul saja! Seolah kita ini hanya pelayan yang tidak berharga!” Asep menimpali, nyinyir.


Joko ikut menimpali, "Sudahlah makanan tidak enak, kita juga diperlakukan dengan sangat buruk oleh Yahya si pekerja baru yang tidak tahu diri itu!"


Tingkir yang selama ini cenderung pendiam mulai terbakar emosi seperti teman-temannya. “Kalian tahu, aku tidak suka cara dia tadi melawan kita. Anak baru seperti dia harusnya tahu posisinya. Berani-beraninya dia menentang kita! Seharusnya dia bisa bersikap lebih hormat!”


Keresahan dan kemarahan mereka semakin menumpuk, mengalir dalam obrolan penuh rasa dendam. “Kita harus memberi pelajaran kepada dia, agar tidak semena-mena!” Seno mengusulkan dengan nada penuh keyakinan.


Lihat selengkapnya