Senandung Cinta di Tanah Terjajah

Qurrati Aini
Chapter #8

8. Kemelut dirumah Zakaria

Musa dengan nafas berburu dan amarah membara di dadanya, menatap tajam ke arah pria paruh baya di depannya. "Siapa kamu dan bagaimana kamu tahu tentang Yahya yang saat ini sedang dibantai?"


Orang itu menelan ludahnya susah payah karena ketakutan ketakutan, sebelum menjawab dengan suara gemetar, "Aku ... aku adalah rekan kerja Yahya, Tuan. Mereka, para pekerja Juragan Zakaria yang telah lama bekerja di sana, tidak menyenangi Yahya. Mereka mengeroyoknya hingga ia babak belur. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."


"Bagaimana kamu bisa ada di sini dan langsung menemuiku?" Musa mendesak, merasa gelisah mendengar kabar buruk tersebut.


"Sekarang sudah waktunya pulang, Tuan. Aku tak sengaja melihatmu dari ujung jalan sana, jadi aku segera menghampirimu karena aku merasa kamu perlu tahu mengenai hal ini," Jawabnya.


Mendengar penjelasan itu, amarah Musa semakin meluap. Tanpa membuang waktu, Musa segera melesat menuju kediaman juragan Zakaria. Dalam hati, segala kesedihan dan kegagalan seakan sirna, digantikan oleh semangat untuk melindungi muridnya.


Dia menghunus pedangnya, wajahnya bertekad. Dalam sekejap, kesedihan yang baru saja dialaminya berubah menjadi tekad untuk membela yang lemah dan memberikan pelajaran kepada para penyerang yang tak berperikemanusiaan.


Ia melangkah cepat, menembus jalanan desa menuju kediaman juragan Zakaria. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam bercampur dengan kemarahan yang tak terbendung.


Sesampainya di depan gerbang rumah juragan Zakaria, Musa dihadang oleh beberapa penjaga yang mengenakan seragam serba hitam. Mereka memandang Musa dengan penuh curiga.


"Hentikan langkahmu! Kamu tak diperbolehkan masuk ke sini tanpa izin!" salah satu penjaga berteriak, menaruh tangannya di hulu pedang menjaga Musa agar tidak nekat masuk ke dalam.


Tentu saja mereka mengenal Musa sebagai sosok pendekar tangguh yang tak terkalahkan. Namun, kedatangannya ke sini yang memakai pakaian pendekar lengkap seraya menghunus pedangnya membuat mereka merasa sangat yakin bahwa Musa memiliki maksud buruk.


Musa menatap tajam, suaranya serak namun tegas, "Aku datang untuk bertemu dengan muridku, Yahya! Aku tahu bahwa dia sedang sekarat di sini! Jika kamu masih tetap menghalangiku, akan kuperlihatkan kebengisan pedangku!"


Melihat kemarahan Musa, para penjaga tersebut saling bertukar pandang. Mereka tahu bahwa Musa adalah pendekar yang tak terkalahkan, namun mereka telah mendapat perintah oleh juragan Zakaria untuk menjaga kediamannya. Jika mereka tidak melakukan pekerjaan dengan baik, bisa saja mereka akan dipecat.


"Jangan mengada-ada, Musa! Pergilah sebelum kami mengambil tindakan!" ancam Ilyas, kepala pekerja di sini. Dia memiliki postur tubuh paling besar di antara para pekerja yang lain.


"Sungguh kebodohan jika kamu menantangku! Sekarang juga, berikan aku jalan!" tegas Musa, suara membara penuh ancaman.


Lihat selengkapnya