Di sebuah rumah kayu sederhana namun sarat dengan aura ketenangan, Kyai Ahmad duduk di ruang tamu yang dikelilingi hiasan sederhana. Sang tamu, Juragan Zakaria, disambut hangat. Di meja, beragam hidangan yang terbuat dari bahan-bahan terbaik disajikan untuk menghormati kehadirannya. Mereka berbicara santai, melepas rindu karena sudah lama tak bersua.
"Ah, sungguh lama kita tak bersua, Zakaria," ujar Kyai Ahmad sambil tersenyum, mengisyaratkan untuk Zakaria menikmati hidangan. "Bagaimana keadaan kebun-kebunmu sekarang? Kudengar hasil panennya melimpah."
Zakaria, seorang pria setengah baya yang selalu rapi dalam berbusana, tersenyum sambil mengangguk. "Alhamdulillah, Kyai. Berkat doa para ulama seperti panjenengan, kebun-kebunku diberi keberkahan panen. Tapi, sebenarnya ada hal penting yang hendak aku sampaikan dalam kedatanganku kali ini."
Kyai Ahmad memandang penuh minat, lalu melirik ke arah putrinya, Ning Nafisah, yang duduk di sampingnya dengan anggun. Sebenarnya mereka sudah tahu maksud kedatangan Zakaria karena ia telah menginformasikan melalui pelayan yang dikirimnya datang ke sini bahwa ia akan meminang Nafisah secepatnya.
Namun, tak ayal Kyai Ahmad tetap menginginkan hal itu disampaikan langsung oleh Zakaria sendiri. "Baiklah, katakanlah."
Zakaria menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Kyai, maksud kedatanganku adalah … ingin melamar putri panjenengan, Ning Nafisah, untuk menjadi istriku," katanya lugas.
Suasana menjadi hening sesaat. Nyai Maryam, ibu Nafisah yang duduk di sisi kiri putrinya, memandang suaminya dengan lembut. Sementara itu, Nafisah duduk tegak, memancarkan ketenangan yang tak tergoyahkan. Pakaiannya yang menutup aurat dengan sempurna menggambarkan kesederhanaan dan keanggunan. Wajahnya teduh, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan.
Kyai Ahmad memandang putrinya dan berkata lembut, “Nafisah, anakku, bagaimana menurutmu mengenai lamaran ini?”