Di tengah hari yang lengang, udara desa Kyati mendadak terasa berbeda saat rombongan juragan Hasan tiba di kediaman Kyai Ahmad. Kehadirannya disambut dengan rasa keheranan yang tak bisa disembunyikan oleh para pelayan. Bagaimana tidak, tamu dari juragan Zakaria belum lagi lama berpamit, dan suguhan untuknya pun masih tersisa di meja, namun kini kediaman Kyai Ahmad kedatangan tamu lagi. Kali ini, juragan Hasan yang datang dengan niat sama: meminang Ning Nafisah, putri bungsu Kyai Ahmad.
Kyai Ahmad, yang masih duduk bersama istrinya, Nyai Maryam, serta putri mereka, Ning Nafisah, di ruang tamu, terkejut melihat kedatangan tamu baru yang tak disangka-sangka.
“Ada angin apa kiranya kamu datang ke rumah kami di tengah hari begini, Hasan?” sapa Kyai Ahmad sambil tersenyum hangat.
Juragan Hasan, seorang pria berbadan tegap dengan wajah penuh percaya diri, menangkupkan tangannya sembari membalas, “Ah, Kyai Ahmad, sudah lama aku tak menginjakkan kaki di rumah Kyai. Kedatangan aku ini pun membawa maksud besar, Kyai.”
Kyai Ahmad sedikit mengerutkan kening, namun tetap memberikan senyuman, “Ah, begitukah? Tentu kami merasa terhormat atas kedatanganmu. Silakan duduk, nikmati jamuan seadanya.”
Hasan duduk dan menatap satu persatu wajah keluarga Kyai Ahmad yang memandangnya dengan tenang. Setelah beberapa kata ramah-tamah berlalu, ia mulai berbicara lebih serius.
“Sejujurnya, Kyai Ahmad, aku ke sini dengan maksud yang mungkin serupa dengan tamu Kyai sebelumnya.”
“Serupa?” Nyai Maryam melirik suaminya, yang hanya menganggukkan kepala sebagai isyarat agar Hasan melanjutkan perkataannya.
Hasan mengangguk, lalu melirik ke arah Ning Nafisah yang anggun dan tenang di samping ayahandanya. “Ya, Kyai. Aku datang membawa niat suci untuk meminang Ning Nafisah, jika kiranya dia berkenan.”
Ning Nafisah tetap tenang, matanya lembut namun sorotnya penuh kewaspadaan. Dia tahu hari ini akan menjadi hari yang panjang, apalagi mendengar suara Juragan Hasan yang terdengar mantap dan penuh keyakinan.
Kyai Ahmad menarik napas panjang. “Hmmm, ini tentu perkara yang tak sepele, Hasan. Niat baikmu tentu saja kami hormati, tapi izinkan kami tahu lebih lanjut alasanmu ingin meminang putri kami.”
Hasan tersenyum tipis, lalu berbicara, “Kyai Ahmad, aku adalah kepala suku Jawa di wilayah Pranang ini. Suku kami memiliki jumlah paling banyak di sini. Aku juga memiliki harta dan kedudukan yang, mohon maaf jika terkesan berlebihan, layak untuk menyandingkan diri dengan putri Kyai.”