Pada suatu siang yang tenang, Musa menelusuri jalan setapak menuju gubuk tua tempat tinggal Yahya. Gubuk itu kecil dan sederhana, dibangun dari kayu yang mulai menghitam oleh waktu. Yahya sengaja memilih tinggal di sana, demi hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang tua angkatnya, Kyai Ahmad. Bagi Yahya, kemandirian adalah jalan untuk menjadi lelaki sejati, pemimpin bagi keluarganya kelak.
Sesampainya di depan pintu, Musa mengucapkan salam sambil mengetuk pelan.
"Assalamu'alaikum, Yahya," suara Musa terdengar penuh kebapakan.
Pintu gubuk terbuka perlahan, memperlihatkan Yahya yang masih tampak letih, meskipun lebam di tubuhnya sudah mulai memudar. "Wa'alaikumussalam, Guru. Silakan masuk," Yahya mempersilakan dengan sopan.
Musa pun melangkah masuk dan duduk di atas lantai tanah beralaskan tikar usang yang Yahya miliki.
"Bagaimana keadaanmu, Yahya?" tanya Musa dengan nada lembut namun penuh perhatian. "Luka-lukamu ... sudah tak terasa sesakit kemarin, bukan?"
Yahya mengangguk sambil tersenyum lemah. "Alhamdulillah, Guru. Berkat obat tradisional dari ayah angkatku, Kyai Ahmad, keadaanku sudah jauh lebih baik."
Musa mengangguk-angguk, wajahnya tampak lega. "Syukur kepada Allah. Aku sempat khawatir bahwa lukamu akan lebih lama sembuh."
Sejenak keduanya terdiam. Musa menatap wajah Yahya dengan penuh haru, seperti memikirkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka fisik. Akhirnya, Musa mulai berbicara dengan nada lebih serius.
"Yahya," ucap Musa sambil menatap pemuda itu. "Tadi pagi, juragan Zakaria datang melamar Ning Nafisah."
Raut wajah Yahya langsung berubah. "Aku sudah tahu guru. Tadi saat pelayan Kyai Ahmad datang membawa ramuan obat, dia menyampaikan hal ini kepadaku. Dan... maaf, Guru, apakah lamaran itu diterima?" Yahya menelan ludah, berusaha bersiap dengan segala jawabannya.
Musa menghela napas panjang. "Lamaran itu ditolak oleh Ning Nafisah, Yahya. Juragan Zakaria pulang dengan tangan hampa."
Seketika Yahya terpaku. Dalam hatinya, ia merasa heran sekaligus takjub bahwa seorang kaya dan terpandang seperti juragan Zakaria pun mendapatkan penolakan dari gadis yang diam-diam ia cintai.
"Juragan Zakaria membawa mahar yang sangat mewah," lanjut Musa. "Satu kotak besar emas batangan dan seribu ayam cemani." Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil melanjutkan, "Ayam cemani itu, Yahya, adalah ayam yang langka dan amat mahal, seluruh tubuhnya hitam legam. Tidak banyak orang yang mampu memilikinya."
"Seribu ayam cemani..." Yahya berbisik nyaris tanpa suara, kagum akan kemegahan mahar itu. Ia tahu, mengumpulkan uang sebanyak itu adalah mimpi yang hampir tak mungkin diraih untuk seorang pekerja sederhana sepertinya.
"Ya, tetapi semua itu pun tak membuat Ning Nafisah menerima lamaran tersebut," jawab Musa dengan suara tenang. "Bahkan setelah juragan Zakaria pulang, juragan Hasan pun datang dengan maksud yang sama."
"Juragan Hasan?" Yahya semakin terkejut. "Lantas, mahar apa yang dia bawa, Guru?"