Senandung Cinta di Tanah Terjajah

Qurrati Aini
Chapter #13

13. Langkah Menuju Keberanian

Yahya memandang cermin kayu yang tergantung di dinding gubuknya. Dengan hati berdebar, dia mengamati bayangannya; tubuhnya yang ramping terbalut pakaian yang rapi. Hari ini, seharusnya dia tampil sebaik mungkin. Setelah berpikir sejenak, dia berkata kepada dirinya sendiri, “Inilah saatnya, Yahya. Kumpulkan keberanianmu dan pergi melamar Ning Nafisah.”


Dia menahan sedikit rasa sakit di tubuhnya akibat keroyokan beberapa waktu lalu, namun semangatnya tidak akan padam. Dengan tekad yang membara, Yahya melangkahkan kakinya ke luar, berusaha mengabaikan rasa nyeri yang menusuk. “Alhamdulillah, kondisi tubuhku jauh lebih baik. Semoga hari ini menjadi hari yang penuh berkah,” gumamnya pelan.


Matahari bersinar cerah di atas langit, mengiringi langkah Yahya menuju kediaman ayah angkatnya, Kyai Ahmad. “Tetapi, jika aku tidak segera melamar, bagaimana perasaanku ini? Akan menjadi zina hati jika dibiarkan berkepanjangan,” pikirnya penuh gelisah.


Tiba-tiba, suara azan zuhur menggema, menggetarkan hatinya. “Ah, sepertinya aku harus menunaikan kewajiban terlebih dahulu,” batinnya. Dia berbalik arah dan melangkah menuju surau, di mana Musa, gurunya, sudah menunggu.


“Yahya!” panggil Musa ketika melihat muridnya mendekat. “Sungguh baik melihatmu beranjak ke surau. Ayo, kita laksanakan salat berjamaah.”


“Ya, Guru. Aku ingin menunaikan salat lebih dahulu,” jawab Yahya, sambil bergegas memasuki surau.


Salat zuhur berlangsung khusyuk. Kyai Ahmad yang menjadi imam memiliki suara sangat merdu, membacakan ayat-ayat suci dengan begitu fasih. Setiap lafaz yang diucapkannya seolah menyejukkan jiwa. Setelah selesai, Yahya merasakan ketenangan menyelimuti hatinya. Dalam doanya, dia memohon kepada Allah, “Ya Allah, permudahkanlah urusanku hari ini. Berikanlah aku keberanian dan kekuatan untuk mengungkapkan perasaanku.”


Setelah salat, Yahya melanjutkan langkahnya menuju kediaman Kyai Ahmad. Sesampainya di sana, dia mengetuk pintu dan mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum.”


Kyai Ahmad dan Nyai Maryam segera menyambutnya dengan senyuman hangat. “Wa’alaikumussalam, Yahya! Sungguh bahagia kami melihatmu datang,” ucap Kyai Ahmad, mempersilakan Yahya masuk.


Nyai Maryam menambahkan, “Ayo, silakan duduk. Para pelayan akan segera mengantarkan hidangan istimewa untukmu.”


“Terima kasih, Nyai,” jawab Yahya sambil duduk, berusaha menyembunyikan kegugupannya.


Tak begitu lama, perkataan nyai Maryam langsung terbukti. Para pelayan membawa makanan yang lezat, tetapi Yahya merasa seolah semua itu tidak berarti. Di dalam hatinya, gelora perasaan untuk melamar Ning Nafisah terus membara, namun lidahnya terasa kelu untuk mengungkapkan keinginan tersebut. Ketika ditanya oleh Nyai Maryam, “Ada urusan apa gerangan, Yahya?” dia hanya menjawab, “Tidak ada apa-apa, Nyai.”


Gelagat Yahya yang kebingungan segera disadari oleh Kyai Ahmad. “Yahya, kamu tampak tidak nyaman. Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Kyai Ahmad, matanya meneliti.


Yahya menundukkan kepalanya, merasa malu. “Ah, tidak, Kyai. Hanya ... hanya sedikit kelelahan,” ujarnya, berusaha menutupi niatnya yang sebenarnya. Namun, Kyai Ahmad tak menyerah.


“Anakku, janganlah kamu sungkan. Kami telah menganggapmu seperti anak sendiri. Jika ada sesuatu, katakanlah."


Namun, Yahya tetap memilih diam dengan wajah yang memerah karena merasa sangat malu sekarang. 


Akhirnya, Kyai Ahmad yang mengerti kegelisahan Yahya segera bertanya dengan perlahan, "Yahya, ... kamu dan Nafisah bagaimana?"


Pertanyaan itu tentu saja langsung membuat Yahya terkejut. Kebingungan mengapa Kyai Ahmad bisa langsung membahas ke arah sana. Rasa paniknya pun seketika menjadi meningkat. “K-Kyai ... aku ...” Suaranya tersendat, tak mampu melanjutkan kalimatnya.


Nyai Maryam menatapnya lembut, “Yahya, kami sangat menyayangimu. Jika memang ada yang ingin kamu sampaikan tentang Nafisah, jangan ragu. Kami ingin mendengar.”


Jantung Yahya berdegup kencang, dan wajahnya langsung memerah malu. Di hadapan Kyai Ahmad dan Nyai Maryam, perasaan gugup, bahagia, dan cemas bercampur aduk dalam hatinya. Ia terdiam sejenak, merasa betapa sulitnya untuk mengungkapkan isi hatinya. Kyai Ahmad yang melihat kebimbangan di wajahnya bertanya kembali, “Yahya, kamu mau menikah dengan Nafisah, bukan?”


Kali ini, wajah Yahya semakin memerah, seolah terbakar oleh api malu. Namun, di dalam hatinya, gelora kebahagiaan mulai merambat. Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Benar, Kyai. Aku sangat ingin menikahi Nafisah.”


Kyai Ahmad mengangguk, senyum bijaknya menambah keyakinan di hati Yahya. “Baiklah, mari kita panggil putri bungsuku."


Kemudian, Kyai Ahmad memerintahkan salah seorang pelayannya untuk segera pergi memanggil Nafisah,


Tanpa menunggu waktu yang lama, Nafisah pun keluar dari balik tirai, mengenakan baju berwarna lembut yang menonjolkan kecantikannya. Melihat Yahya yang tampak canggung, diam-diam tersenyum manis di balik cadarnya, “Ayah, ada apa?”


“Nafisah, ini Yahya. Dia ingin menyampaikan sesuatu padamu,” jawab Kyai Ahmad, memberikan kesempatan kepada Yahya.


Yahya merasakan dadanya bergetar hebat. Dengan menahan napas, ia menghadap Nafisah. “Ning Nafisah, sejak kita masih kecil dan tumbuh besar bersama dengan bermain, hatiku telah terpaut padamu. Dengan segala kerendahan hati, aku memohon agar kamu bersedia menjadi istriku.”


Lihat selengkapnya