Yahya merasakan getaran yang belum pernah ia alami sebelumnya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa jika Allah sudah berkehendak, maka apapun rintangannya pasti akan terlewati. Pinangan Yahya kepada Ning Nafisah yang diterima oleh Kyai Ahmad telah mengguncang penduduk desa Kyati. Berita itu menyebar bagai api di padang ilalang.
Setiap sudut desa dipenuhi suara orang-orang yang memperbincangkan keputusan Kyai Ahmad. “Kamu tahu, bukan? Ning Nafisah menolak lamaran dari banyak pemuda hebat di provinsi Pranang,” ujar seorang pria paruh baya kepada tetangganya, “Dan kini, ia malah menerima lamaran dari Yahya, si pemuda miskin itu!”
“Ah, benar! Tak kuasa aku mempercayainya. Betapa anehnya!” sahut seorang wanita paruh abad, sambil menggelengkan kepala. “Apa yang Ning Nafisah pandang ada pada Yahya? Dia bukan siapa-siapa.”
Namun, di antara keraguan itu, terdengar pula beberapa orang yang mendukung keputusan neng Nafisah. “Tapi ingat, Yahya itu anak angkat Kyai Ahmad. Dia telah dididik sendiri oleh Kyai Ahmad sejak kecil."
“Nah, itu benar. Kita semua tahu bagaimana Kyai Ahmad memandangnya. Jika dia mempercayakan putrinya kepada Yahya, pasti ada alasan yang kuat.”
“Betul! Yahya mungkin miskin, tetapi dia punya nilai diri yang tak bisa dihargai dengan uang,” tambah seorang yang lainnya. “Kyai Ahmad sendiri lah yang mendidik Yahya sejak dia berusia enam tahun, pastilah Kyai Ahmad sangat mengenalinya. Tidak mungkin Kyai Ahmad melepaskan putrinya ke sembarang lelaki.”
Sementara itu Kyai Ahmad dan keluarganya justru merasa yakin akan keputusan yang mereka ambil. Khususnya Kyai Ahmad dan Nyai Nafisah yang telah melihat pertumbuhan Yahya dari seorang anak kecil yang kehilangan segalanya hingga menjadi pemuda yang penuh harapan dan tanggung jawab.
Sementara itu, Yahya pulang ke rumahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Sepanjang perjalanan, warga desa menggoda dan memberi dukungan padanya. “Yahya! Selamat, ya! Kamu beruntung sekali mendapatkan Ning Nafisah!” teriak seorang pemuda, wajahnya berseri-seri.
Namun, tidak sedikit pula yang mencibir. “Cobalah lihat dia! Siapa dia dibandingkan dengan pemuda-pemuda lainnya?” gumam seseorang dengan nada sinis. “Keluarganya saja tidak ada, bagaimana mungkin dia layak mendapatkan Ning Nafisah?”
Yahya mendengar bisikan-bisikan itu, tetapi ia berusaha menepisnya dari pikirannya. “Biarkan mereka bicara,” ucapnya dalam hati. “Aku hanya perlu fokus pada apa yang kuinginkan.”
Di tengah perjalanan, Yahya bertemu dengan Musa. Melihat Yahya yang tampak bersemangat, Musa langsung menghampirinya. “Yahya! Aku merasa turut bahagia mendengar lamaranmu kepada Ning Nafisah akhirnya diterima,” pungkas Musa, mengulurkan tangan untuk merangkul Yahya.
“Alhamdulillah, Guru. Semua ini juga berkatmu yang terus memberikan motivasi agar aku tidak patah semangat!” Yahya berkata, suaranya penuh kebahagiaan.
“Karena aku yakin, kamu pasti bisa, Yahya!” jawab Musa sambil menepuk punggung Yahya. “Jadi, sekarang apa rencanamu?”