Senandung Cinta di Tanah Terjajah

Qurrati Aini
Chapter #15

15. Malam Pertama

Malam pertama setelah pernikahan Yahya dan Nafisah terasa penuh harapan meski mereka berada dalam gubuk tua yang sederhana. Kamar yang mereka tempati hanya diterangi oleh lampu teplok yang redup, menciptakan suasana remang-remang. Nafisah duduk di tepi ranjang, matanya menatap lembaran kayu yang berkarat, sementara Yahya berdiri di dekat jendela, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan.


“Yahya,” Nafisah memecah keheningan, suaranya terdengar sangat lembut dan merdu di telinga Yahya. “Bolehkah aku berkata jujur kepadamu?”


Mendapat pertanyaan itu, Yahya segera menoleh ke arah Nafisah. Dengan pelan Dia menganggukkan kepalanya, sebagai isyarat mempersilakan Nafisah untuk berbicara. “Silakan, Nafisah. Apa yang ingin kamu sampaikan?” Yahya menjawab, meski hatinya bergetar penuh rasa ingin tahu.


Dengan napas dalam-dalam, Nafisah memandang suaminya. “Sebenarnya, aku ... aku telah mengagumi seorang lelaki yang aku anggap sebagai pahlawan di desa Kyati."


Pernyataan Nafisah barusan membuat Yahya tersentak. Seketika Yahya merasakan dinding hatinya retak. Cemburu menggelora dalam dirinya. “Siapakah dia?” tanyanya berusaha tenang, meski hati kecilnya bergetar.


“Dia ... dia selalu berani membela kebenaran, dan aku selalu mencari tahu tentangnya,” Nafisah melanjutkan seraya menundukkan kepala. “Aku sangat kagum dengan keberaniannya.”


Sekilas wajah Yahya terlihat pucat. Rasa sakit itu seperti belati yang menusuk, tetapi ia berusaha menutupi perasaannya. “Apakah kamu menyesal menikah denganku, Nafisah? Apakah kamu lebih memilih lelaki itu?”


Nafisah terdiam sejenak, wajahnya memerah. “Sebenarnya … lelaki yang aku kagumi itu adalah kamu, Yahya. Sekarang, kamu adalah suamiku.”


Kata-kata itu bagaikan air yang berhasil membuat hati Yahya yang sebelumnya panas, kini menjadi dingin. Yahya tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksudmu … aku?”


Nafisah mengangguk, pipinya semakin memerah, membuatnya terlihat semakin menawan. “Ya, aku mengagumimu. Sejak lama, aku memperhatikan segala usaha dan kerja kerasmu. Setiap langkahmu selalu menginspirasiku. Aku terlahir penuh dengan keberuntungan, orang tuaku kaya raya dan dihormati semua orang. Seandainya takdir kita di balik, aku tidak yakin bisa sekuat dirimu, suamiku. Menjalani hidup tanpa orang tua dan sanak saudara.


“Ah, Nafisah ....” Yahya merasa malu, senyumnya merekah di wajahnya. “Aku tidak layak disebut pahlawan seperti itu.”

Lihat selengkapnya