Setelah selesai melaksanakan salat subuh berjamaah di surau, suasana pagi yang tenang di desa Kyati seketika pecah oleh suara kentungan yang berulang kali dibunyikan. Suara itu menggema, membuat para jamaah salat terkejut dan bingung.
"Ada apa ini? Mengapa kentungan berbunyi terus-menerus?” tanya Zulkifli, yang turut hadir salat berjamaah di surau ini, dengan nada cemas.
“Sepertinya ada yang tidak beres,” sahut Faruq sambil menatap keluar surau.
Kyai Ahmad, sang ulama sekaligus pemimpin yang bijaksana, segera bergegas keluar dari surau. “Tenanglah, semuanya. Mari kita cari tahu apa yang terjadi.”
Para lelaki yang saat ini berada di dalam surau lekas mengikuti langkah Kyai Ahmad dengan rasa penasaran yang membara. Mereka menuruni tangga surau, hingga sampai di halaman yang ramai.
Saat itu, seorang lelaki muda dari desa berlari menghampiri Kyai Ahmad, wajahnya tampak ketakutan. “Kyai Ahmad, mohon dengarkan aku baik-baik!” serunya sambil terengah-engah. “Ada kabar buruk yang harus segera aku sampaikan kepadamu!”
“Berkata lah, wahai pemuda. Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Kyai Ahmad menjawab, raut wajahnya menunjukkan keseriusan.
“Pasukan tentara Belanda, jumlahnya sekitar 25 ribu orang, saat ini sedang dalam perjalanan menuju desa kita! Mereka akan sampai dalam waktu tiga hari jika tidak ada halangan!” jawab lelaki itu dengan suara bergetar.
Semua orang terdiam, mata mereka membelalak mendengar kabar tersebut. Kecemasan mulai menyelimuti desa yang damai ini.
“Untuk apa mereka datang ke desa Kyati?” tanya Kyai Ahmad, menahan perasaan cemas dalam hatinya.
“Pasukan itu akan membumihanguskan desa Kyati, Kyai!” s
Suara lelaki itu semakin meninggi. “Mereka khawatir bahwa para priyayi dan tokoh terkemuka di provinsi Pranang merencanakan pemberontakan. Sebab seluruh priyayi provinsi Pranang berkumpul dan bertempat tinggal di desa Kyati, Kyai!”
Seketika, kerumunan warga desa mulai gaduh. “Apa benar demikian? Apakah sebentar lagi kita semua akan mati dibantai tentara Belanda?” tanya seorang warga dengan suara parau karena teramat ketakutan.
“Selama ini, mereka tidak mempermasalahkan sikap para priyayi di provinsi Pranang, asal kita tidak melawan,” seru yang lain, wajahnya tampak gelisah.
Kyai Ahmad mencoba meredakan situasi. “Saudaraku semuanya, tenanglah. Kita harus mendengarkan informasi ini dengan baik. Dari mana kamu mengetahui semua ini?” tanya Kyai Ahmad kepada pemuda yang tadi menyampaikan kabar mengejutkan ini.
“Saudaraku yang sedang dalam perjalanan ke pusat kota Provinsi Pranang berpapasan dengan pasukan tentara Belanda, Kyai. Di saat itu dia segera mengirimkan surat kepadaku menggunakan merpati untuk memberitahu kita sebelum semuanya terlambat!” jawab lelaki itu, napasnya tersengal-sengal.
“Ini sungguh berita yang sangat mengejutkan,” ujar Kyai Ahmad, menahan gelombang emosi yang melanda. “Kita harus segera mengambil langkah untuk melindungi diri dan keluarga kita.”
Ia pun mengangkat suaranya, “Kumpulkan seluruh penduduk desa Kyati di halaman surau! Kita perlu membahas hal ini bersama-sama!”
Musa, guru bela diri Yahya, dan ribuan muridnya yang setia segera bergerak cepat. Mereka berlari menuju setiap sudut desa, memanggil semua penduduk untuk berkumpul. Dalam waktu singkat, halaman surau pun dipenuhi oleh ribuan warga desa yang saling bertanya, penuh rasa cemas.
Kedua putri Kyai Ahmad, si sulung dan si bungsu segera hadir. Nafisah menghampiri suaminya, Yahya, yang berdiri di samping ayahandanya.
“Suamiku,” panggil Nafisah dengan nada lembut, lalu iya segera mengambil tangan suaminya untuk ia cium. “Aku merasa sangat khawatir sekarang,” katanya mengadu.
Yahya menarik nafas dalam-dalam. “Tenanglah, Nafisah. Kita akan menghadapi ini bersama,” jawabnya seraya menatap istrinya dengan lembut, berusaha memberi ketenangan di tengah kegelisahannya.