Senandung Cinta di Tanah Terjajah

Qurrati Aini
Chapter #18

18. Parit Pertahanan

Suasana di halaman surau masih tegang mengenai perdebatan tentang keberadaan Ki Amru yang belum kunjung usai. Membuat sebagian besar warga desa Kyati merasa gelisah. Namun, desakan Musa tak terbendung lagi. Dia mendekati Seno, yang tampak ragu untuk berbicara.


“Wahai Seno,” kata Musa bersuara tegas, “aku tidak ingin menyakiti dirimu. Namun, jika kamu tidak mengungkapkan di mana Ki Amru berada, kami semua akan terancam. Perang ini tidak bisa dianggap enteng!”


“Aku tidak bisa mengkhianati Ki Amru,” Seno menjawab, suaranya bergetar. “Dia adalah guru aku.”


“Tetapi ini menyangkut nasib desa kita!” Musa bersikeras, mendekat dengan tatapan garang. “Kamu harus berpikir untuk semua orang. Jika Ki Amru telah berpihak kepada musuh, maka kita semua dalam bahaya!”


Mendengar nada suara Musa yang mengancam, Seno mulai gelisah. Di tengah kegundahan, Musa menambah tekanan. “Buka mulutmu, Seno! Atau aku terpaksa melakukannya dengan cara yang lebih keras!”


Dengan sedikit ragu, Seno akhirnya mengalah. “Baiklah! Ki Amru saat ini berada di barisan pasukan tentara Belanda yang hendak menyerang desa kita!”


“Bagaimana bisa begitu? Ki Amru seorang pribumi!” teriak seorang warga, seakan tidak percaya. “Dia berkhianat pada kita semua?”


“Aku tidak tahu! Namun, dia telah dipanggil ke pusat pemerintahan Hindia Belanda dan mendapatkan uang sogokan yang sangat besar. Ki Amru bersedia berada di pihak Hindia Belanda untuk melakukan penyerangan!” Seno menjelaskan dengan napas berat.


Seketika, gemuruh kemarahan memenuhi halaman surau. “Pengkhianat!” teriak seseorang. “Dia rela menjual nyawa saudaranya sendiri demi uang!”


“Dia adalah hamba setan!” teriak yang lain. “Lihatlah di padepokan yang dia punya, dia melakukan praktik kesyirikan demi mendapatkan kesaktian. Hatinya telah gelap dipenuhi dosa, jadi wajar saja jika dia tidak memiliki belas kasihan kepada sesama saudaranya yang pribumi ini!”


Melihat suasana semakin ricuh, Kyai Ahmad segera berdiri, mencoba menenangkan keributan yang telah terjadi. “Wahai saudara-saudaraku, dengarlah! Jangan biarkan emosi menguasai kita di saat-saat genting seperti ini. Kita harus beristighfar kepada Allah dan tidak terjerumus dalam ghibah dan fitnah!”


“Ya, Kyai!” suara warga bersahutan, tetapi amarah mereka masih membara.


“Ghibah adalah maksiat dan salah satu dosa besar! Allah akan menahan pertolongannya jika kita melakukan maksiat di saat genting!” Kyai Ahmad melanjutkan, tegas.


Setelah mendengar kata-kata Kyai Ahmad, para warga terdiam, menyadari kesalahan mereka. “Kami minta maaf, Kyai ....” Seorang warga berkata dengan suara gemetar. “Kami tidak seharusnya melontarkan kata-kata seperti itu. Kami beristighfar kepada Allah.”

Lihat selengkapnya