Hari ini, cuaca di desa Kyati tampak tenang, meskipun di dalam hati setiap penduduk bergejolak. Langit biru membentang di atas kepala, sementara angin lembut berhembus, membawa aroma segar dari dedaunan. Namun, di balik ketenangan itu, rasa cemas menyelimuti desa ketika derap langkah tentara kolonial Belanda mulai terdengar.
Kyai Ahmad berdiri di depan para lelaki yang siap berperang. “Wahai saudara-saudaraku, hari ini kita tidak hanya berjuang untuk diri kita sendiri, tetapi untuk seluruh generasi yang akan datang! Parit ini adalah benteng kita, dan kita adalah penjaga kehormatan desa Kyati!”
Mendengar kata-kata Kyai Ahmad, para lelaki berteriak serentak, “Kami siap berjuang, Kyai!”
“Bersiaplah, pasukan pemanah!” seru Musa, salah satu murid bela diri Musa berkata lantang sambil menunjuk ke arah parit. “Kita akan mengingat ajaran guru kita, bahwa keberanian adalah kunci kemenangan.”
Di sisi lain, tentara kolonial Belanda sudah mendekati perbatasan desa, dipimpin oleh Abbe, seorang kapten yang terkenal dengan keberaniannya. Akan tetapi, kini desa Kyati telah dihalangi oleh sebuah parit panjang dan besar. Hal itu membuat tentara kolonial merasa terkejut. Penduduk desa Kyati yang sempat melaksanakan strategi perang adalah pertanda bahwa terdapat seseorang yang membocorkan rencana penyerangan mereka.
Abbe menggeram marah dan bertekad akan membunuh orang yang membocorkan rahasia ini jika kelak dia mengetahuinya.
“Maju terus! Parit itu tidak akan menghentikan kita! Siapkan senapan kalian!” teriaknya, berusaha memotivasi pasukannya.
“Kapten, jarak kita masih terlalu jauh untuk menggunakan senapan!” seorang prajurit bernama Pieter melapor, wajahnya menunjukkan keraguan.
“Diam! Jangan bicara hal yang membuat jiwa kalian ragu terhadap penyerangan ini!” Abbe membentak, namun dalam hatinya, dia juga merasakan kecemasan. Mereka semua tahu bahwa senapan laras panjang yang mereka miliki hanya efektif dalam jarak 300-500 meter. Sementara itu, pasukan Kyati sudah bersiap di posisi.
Kembali ke barisan pemanah, Faruq, seorang pemanah handal, meneguk ludah. “Guru, apakah kita benar-benar bisa menghalau mereka?”
“Percayalah, Faruq. Rencana kita telah matang. Mereka tidak akan pernah menduga bahwa kita telah menyiapkan semua ini!” jawab Musa penuh percaya diri.
“Betul! Kita harus bersiap!” teriak seorang pemanah lain, mengangkat busurnya. “Dari sini, kita bisa melihat mereka dengan jelas.”