Di tembok pertahanan yang mulai sunyi sejak serangan dari murid-murid Ki Amru mundur, suara riuh kecil-kecil mulai terdengar. Para wanita, anak-anak, dan orang tua yang berlindung di sana berkerumun sambil sesekali melirik ke arah bukit tempat pertarungan barusan terjadi. Mereka berbisik-bisik, membahas serangan yang dipimpin murid-murid Ki Amru dan kegagahan para pejuang desa Kyati, serta keberanian seorang wanita bernama Sofi—istri Musa yang tersohor galaknya—yang telah memenggal kepala seorang murid Ki Amru yang tadi sempat memaksa masuk ke dalam tembok ini.
“Aku sungguh tak menyangka, bahwa Sofi memiliki keberanian luar biasa seperti itu,” ujar seorang wanita berkerudung lebar, bibirnya terbuka seolah masih tak percaya. “Seandainya aku yang berada di sana, mungkin pingsan seketika saat melihat darah bercucuran!”
Yang lain menimpali, “Ah, bahkan melihat darah di ladang saja sudah bikin lemas, apalagi kalau sampai seperti itu.”
Mereka saling pandang, tertawa kecil namun kagum. Bagi mereka, apa yang dilakukan Sofi adalah keberanian yang langka, terutama bagi seorang wanita. Namun, keberanian Sofi juga mencerminkan keadaan yang mencekam di Kyati; bahwa sekarang tak ada lagi yang bisa memilih untuk sekadar berdiam diri. Semua harus siap untuk bertahan.
Tiba-tiba Asma, yang sejak tadi duduk di sudut bersama adiknya, Nafisah, menarik nafas panjang. Nafisah, menyadari kegelisahan kakaknya pun lekas mendekatinya dan merangkul pundaknya seraya menatap Asma dengan sorot mata penuh perhatian.
“Kakak, ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Nafisah lembut, menaruh tangannya di atas bahu sang kakak.
Asma menundukkan kepalanya, matanya berkilau penuh dengan air mata yang hampir jatuh. “Nafisah … apakah kamu tahu rasanya mencintai dua orang sekaligus namun di saat yang sama merasakan beban yang tak terkira?” Asma bergumam pelan, suaranya bergetar.
Nafisah menghela napas, “Tentu, aku tidak tahu persis rasanya. Namun aku bisa merasakan kepedihanmu, kakak. Mencintai suami, dan ayah dalam waktu yang sama, lalu melihat mereka kini berhadap-hadapan sebagai lawan dalam pertempuran. Itu beban yang berat, Kak.”