Senandung Cinta di Tanah Terjajah

Qurrati Aini
Chapter #22

22. Tantangan di Garis Depan

Malam semakin larut, namun riuhnya pertempuran belum juga mereda. Di seberang parit yang memisahkan kedua pihak, pasukan pribumi yang berjuang di bawah komando Kyai Ahmad masih tegak berdiri, menunggu aba-aba untuk melanjutkan perlawanan. Namun di tengah ketegangan itu, tampak seorang kakek berjubah panjang dengan wajah penuh karisma melangkah maju mendekati garis depan desa Kyati. Sosok itu tak lain adalah Ki Amru, tokoh yang dikenal akan kesaktian dan keberanian yang tiada tanding.


Dengan gerakan ringan seolah melawan gravitasi, Ki Amru melompat melewati parit yang lebar, mengundang decak kagum sekaligus ketakutan di pihak musuh. Ia mendarat dengan tangguh di hadapan para pejuang Kyati yang menunggu dalam ketegangan.


"Hei, kalian semua!" seru Ki Amru, suaranya menggelegar memenuhi udara. "Mana di antara kalian yang berani melawan aku, Ki Amru? Aku tantang satu orang saja, tak perlu ramai-ramai!"


Pasukan Kyati hanya saling pandang, menanti perintah Kyai Ahmad yang berdiri gagah di depan barisan. Sang Kyai tetap tenang, tatapannya penuh perhitungan. Ia paham bahwa Ki Amru tidak bisa dianggap enteng. Setiap orang di sini pun tahu bahwa menghadapi Ki Amru adalah ujian yang hanya bisa dihadapi oleh prajurit dengan nyali besar dan iman yang teguh.


Namun Ki Amru terus merongrong, tidak sabar melihat tak ada yang menjawab tantangannya. Ia tertawa keras, suara tawa yang mengundang amarah di hati Yahya, salah satu pemuda yang berada di barisan depan. Yahya mengepalkan tangannya, matanya menyala penuh keberanian. Tak tahan lagi dengan ejekan yang terus menguar dari mulut Ki Amru, Yahya akhirnya melangkah maju menuju Kyai Ahmad.


"Kyai!" seru Yahya lantang, suaranya penuh tekad. "Izinkan aku menerima tantangan Ki Amru. Aku tidak sudi nama Kyati dicemari oleh tantangan tanpa balasan!"


Para pejuang di sekelilingnya terkejut. Mereka tahu bahwa Yahya adalah pemuda tangguh yang disayangi oleh Kyai Ahmad. Tapi melawan Ki Amru? Ini jelas bukan hal sepele.


Kyai Ahmad menatap Yahya dengan mata penuh kasih namun juga khawatir. "Yahya, yang kamu hadapi ini bukan orang sembarangan. Ia bukan hanya sekadar musuh, tapi ia adalah Ki Amru, seorang kakek sakti mandraguna. Kamu tahu risiko yang kamu hadapi?"


Yahya mengangguk, wajahnya tetap penuh keyakinan. "Benar, dia memang Ki Amru. Tapi aku ... aku adalah Yahya!" jawabnya dengan lantang penuh keberanian. Seketika Yahya mengingatkan semua orang bahwa dirinya merupakan seorang anak dari lelaki yang menjadi pimpinan pasukan pribumi yang menyatakan perlawanan terhadap penjajah. Selain itu, Yahya juga merupakan anak angkat Kyai Ahmad, seorang Kyai terkemuka di provinsi Pranang.


Yahya kembali melanjutkan ucapannya, "Kyai, jika Kyati harus mempertaruhkan seorang prajurit untuk menentang Ki Amru, biarlah itu aku. Aku hanyalah Yahya, putra angkat Kyai Ahmad, dan aku akan menjaga kehormatan desa ini."


Kyai Ahmad diam sejenak, terkesan oleh keteguhan hati sang pemuda Soleh tersebut. Namun, ia juga tidak ingin kehilangan Yahya yang sudah seperti anak sendiri. "Tidak, Yahya. Kembalilah ke posisimu. Pertarungan ini bukan sesuatu yang bisa dihadapi dengan keberanian saja."


Meski begitu, Ki Amru tak berhenti mengejek dari pinggir parit. "Hah! Apakah tidak ada seorang pun dari pihak kalian yang berani melawan aku? Apakah kalian ini hanya sekumpulan pecundang yang bersembunyi di balik kearifan seorang Kyai?"

Lihat selengkapnya