Mentari pagi menyentuh lembut puncak-puncak Bukit Seribu, mewarnai kabut tipis yang masih bergelayutan di lembah dengan semburat jingga dan emas. Di sebuah gubuk sederhana beratap daun rumbia, yang terletak di tepi hutan pinus yang rimbun, seorang gadis muda bernama Senja terbangun. Usianya baru menginjak tujuh belas tahun, namun matanya menyimpan kedalaman dan ketenangan yang jarang dimiliki seusianya.
Senja meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah semalaman terlelap di atas tikar pandan. Aroma embun dan tanah basah menyeruak masuk melalui celah-celah dinding bambu, membawa serta nyanyian burung-burung hutan yang riang. Ia bangkit, melipat selimutnya dengan rapi, dan berjalan menuju jendela kecil yang menghadap ke arah lembah.
Pemandangan di hadapannya selalu berhasil membuatnya takjub. Kabut yang perlahan terangkat, menyingkap permadani hijau sawah yang membentang luas, sungai kecil yang berkelok-kelok bagai pita perak, dan deretan bukit yang tampak seperti lukisan raksasa. Di kejauhan, tampak asap tipis mengepul dari beberapa rumah penduduk desa yang mulai beraktivitas.
Senja tinggal seorang diri di gubuk itu sejak kedua orang tuanya meninggal dunia akibat demam beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, ia belajar mandiri, mengandalkan kebun kecil di belakang rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia juga sesekali membantu tetangga di desa memanen padi atau membuat anyaman tikar.