“Baru dapat gorengan saja langsung pulang,” sindir Paijo sambil menyipitkan mata, menggodanya. Wira hanya tersenyum kecil dan melambaikan tangan. “Iya, kasihan istri menunggu di rumah,” jawabnya ringan, tapi penuh makna. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Wira berbalik dan melangkah pergi dengan bungkusan di tangan, meninggalkan warung yang masih ramai dengan canda tawa teman-temannya, sementara pikirannya sudah melayang pada wajah Yatminten yang pasti akan tersenyum senang menerima oleh-oleh sederhana darinya.
Sesampainya di rumah, Wira segera mengucap, “Assalamualaikum,” suaranya terdengar hangat di ambang pintu. “Waalaikumsalam,” jawab Yatminten, istrinya, yang menyambut kedatangannya dengan lembut sambil mencium punggung tangannya. Wira memberikan bungkusan ketan dan gorengan, yang langsung disambut dengan senyum manis di wajah Yatminten. “Ini enak, pasti,” katanya penuh antusias. Ia menggandeng lengan Wira dan mengajaknya duduk bersama di ruang tengah. Wira tertawa kecil dan menepuk lengannya, “Aku sudah makan banyak, tadi ditraktir Pardi di warung.”
Yatminten tertawa kecil sambil mengangguk, “Wah, Pardi lagi banyak duit, ya?” tanyanya penasaran. Wira mengangguk, lalu berkata dengan nada mantap, “Iya, Dek. Aku juga insyaallah akan banyak duit, soalnya aku sudah memutuskan untuk ikut jejak Pardi.” Sambil mengelus lembut kepala Yatminten, Wira bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. “Dek, nanti kita salat berjamaah, ya?” ajaknya dari dalam kamar mandi. Yatminten tersenyum, merasa bangga dengan keputusan suaminya yang tampak semakin mantap melangkah.
---
Di rumah, Pardi menyerahkan beberapa lembar uang kepada Mursiyam, istrinya, yang menerimanya dengan mata berbinar. "Alhamdulillah, Mas. Sejak bergabung dengan partai, ada saja rezeki yang datang," ucap Mursiyam dengan nada bahagia. Pardi mengangguk sambil tersenyum bangga, lalu berkata dengan penuh keyakinan, "Besok kamu nggak usah jahit lagi. Insyaallah hasil dari organisasi ini cukup untuk kebutuhan kita." Mendengar itu, Mursiyam tersenyum haru, matanya berkaca-kaca, dan ia mengangguk pelan, merasa lega sekaligus bangga akan tekad suaminya.
---
Keesokan paginya, Wira tiba di sebuah rumah tua peninggalan Belanda yang sudah dipenuhi orang-orang yang sibuk dan tampak serius. Namun, ketika hendak melangkah masuk, ia tiba-tiba terhenti, jantungnya berdebar kencang mendengar suara jerit dan tangis yang menggema dari dalam rumah itu, menciptakan suasana yang mencekam dan membuatnya ragu untuk melanjutkan langkah.
Dengan hati-hati, Wira mendekat ke pintu rumah dan mengintip ke dalam, hatinya berdegup kencang. Ia melihat para eksekutor berpakaian lengkap keluar sambil mengangkat beberapa jenazah yang tertutup kain. Ketika matanya berfokus ke dalam, ia semakin terkejut melihat sahabatnya, Pardi, berdiri di tengah ruangan, siap dieksekusi dengan pedang terhunus. Di sudut ruangan, Mursiyam, istri Pardi, tampak meronta-ronta dalam kesedihan, memanggil nama suaminya dengan suara penuh harap, "Mas Pardi! Tolong, jangan! Ini tidak mungkin!"
Wira terhuyung mundur, merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Tak lama, ia menyaksikan pedang itu diayunkan, dan tubuh Pardi tergeletak tak bernyawa di lantai, darah menggenang di sekitarnya. "Tidak, Pardi!" teriaknya, namun suara itu hanya terdengar samar di telinganya. Mursiyam pun pingsan, tubuhnya terjatuh ke samping suaminya yang telah pergi selamanya. Wira merasakan kepedihan yang mendalam, nyeri yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ia berusaha menahan air mata, namun tidak bisa menghalangi rasa kehilangan yang begitu menyakitkan.