Senandung Rindu Seroja Timur

Yona Elia Pratiwi
Chapter #3

Bab 3. pelarian

“Mursiyam?” Wira mengalihkan pandangannya ke arah istri Pardi, yang terlihat sangat terpukul. Mata Mursiyam memerah karena tangisnya, dan kesedihan yang mendalam terpancar dari wajahnya. Wira merasa hatinya teriris melihat keadaan Mursiyam, dan tanpa sengaja, pandangannya kembali mengarah ke tubuh sang eksekutor yang tergeletak tak berdaya di lantai.

“Sepertinya dia sudah mati. Kita harus segera pergi,” Wira berkata sambil mencoba menarik tangan Mursiyam untuk mengikutinya. Namun, Mursiyam dengan tegas melepas cekalan tangan Wira dengan kasar. “Lebih baik aku mati daripada tidak mendapati mas Pardi ada di sampingku!” ujarnya dengan suara penuh emosi, membuat Wira terhenti dan merasakan betapa dalamnya rasa kehilangan yang dialami Mursiyam.

Wira sejenak terhenyak, netranya menatap Mursiyam dengan sendu. Perasaannya campur aduk antara rasa sakit dan empati yang mendalam. "Tidak hanya kamu. Aku juga kehilangan istriku," lirih Wira, suaranya hampir tak terdengar, tetapi penuh dengan rasa duka.

Mursiyam menatap nanar kepada Wira, seolah mencari kebenaran di balik ucapan pria itu. “Yatminten meninggal?” tanyanya, suaranya bergetar penuh harap. Wira mengangguk, menahan tangis yang hampir pecah, dan dalam momen itu, keduanya merasakan kesedihan yang tak terucapkan, seakan-akan beban kehilangan mereka saling terhubung dalam keheningan yang mencekam.

“Kita harus melanjutkan hidup, Yam. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai terjadi sesuatu kepada istri sahabatku!” Wira bersikeras, suaranya bergetar antara harapan dan keputusasaan. Ia merasakan betapa beratnya kehilangan yang mereka alami, tetapi ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan meski beban itu terasa sangat berat.

Wira mulai terisak. Bulir bening membasahi kedua pelupuk matanya, meluncur deras mengalir di pipinya. Dalam momen itu, ia merasakan sebuah harapan kecil yang bersinar di tengah kegelapan. Mursiyam tak kalah sendu. Wanita itu menangisi suaminya, mengenang saat-saat indah mereka bersama, sambil berusaha mencari kekuatan untuk bangkit dari kesedihannya.

Saat itu, ingatan tentang Pardi kembali membanjiri pikirannya, terbayang jelas bagaimana suaminya dieksekusi mati di depan matanya. Pardi yang terpaksa berpisah dengan kehidupan yang penuh cinta itu menatap Mursiyam seolah mengucapkan selamat tinggal, seolah memohon agar Mursiyam tetap melanjutkan hidup meski harus melawan kesedihan yang mencekam. Perasaan kehilangan itu begitu mendalam, tetapi tekad untuk bertahan juga mulai tumbuh dalam hati mereka berdua.

“Mas Pardi,” lirih Mursiyam sambil tertunduk, hatinya terasa hancur saat mengingat suaminya. Bulir bening terus keluar dari kedua pelupuk matanya, menandakan betapa dalamnya rasa kehilangan yang ia rasakan. Setiap kenangan indah bersama Pardi kembali menghantui pikirannya, menambah kepedihan yang sudah tak tertahankan.

“Kita pergi, Yam.” Kembali Wira menggandeng lengan Mursiyam, berusaha memberikan dorongan agar mereka segera beranjak dari tempat yang menyakitkan itu. Mereka menyembunyikan tubuh di antara tumpukan mayat, menahan napas saat pintu dibuka. Ketika suara di luar mulai menghilang, keduanya beranjak pergi dengan mengendap, berusaha tak menimbulkan suara. Wira melewati belakang rumah tempat eksekusi dan menerobos halaman belakang rumah juragan Suryo, berharap dapat menemukan tempat aman dari teror yang menghantui mereka.

Lihat selengkapnya