Senandung Rindu Seroja Timur

Yona Elia Pratiwi
Chapter #4

Bab 4: Pandangan Yang Mulai Gelap

Wira dan Mursiyam bersembunyi di balik semak-semak, merapatkan diri dengan penuh kecemasan. Suara derap kaki yang semakin samar akhirnya terdengar menjauh, memberi keduanya sedikit kelegaan di tengah suasana yang tegang. Wira berusaha mengatur napas, sementara ia sesekali melirik Mursiyam yang tampak terdiam dengan wajah lesu. “Apa kampung halamanmu masih jauh?” bisik Wira pelan, berharap Mursiyam memiliki gambaran akan jalan keluar dari hutan ini. Namun, alih-alih jawaban yang ia tunggu, ia malah melihat Mursiyam mengucek-ngucek matanya yang terus berair. “Yam, Kau kenapa?” tanyanya dengan cemas, menyadari bahwa kondisi Mursiyam semakin buruk.

“Pandanganku mulai gelap,” jawab Mursiyam dengan suara pelan. “Aku melihatmu samar-samar, Wira.” Wira menatap Mursiyam dengan prihatin. Ketika ia mendekatkan wajahnya untuk memeriksa, mata Mursiyam tampak berwarna abu-abu, seolah menandakan penglihatannya yang samar, Wira melihat kalau wanita muda itu didera kelelahan yang luar biasa. Sampai ia menyadari bahwa Mursiyam mungkin mengalami masalah pada penglihatannya karena terlalu lelah atau bahkan akibat trauma yang mereka alami sepanjang pelarian ini. “Kau bisa melihatku?” tanya Wira hati-hati, berharap masih ada sedikit kemampuan melihat pada sahabat istrinya itu.

“Samar,” bisik Mursiyam lemah. Balasan itu membuat Wira langsung bertindak cepat. Tanpa ragu, ia berlutut dan menyilakan Mursiyam untuk menaiki punggungnya. “Pegangan yang kuat,” ucapnya lembut. Mursiyam dengan ragu meraih pundak Wira dan mengizinkan dirinya diangkat. Wira pun mulai berjalan menembus rimbunan pepohonan, berusaha sebaik mungkin agar pijakannya tetap mantap meski tubuhnya sendiri sudah lelah. Hari semakin sore, dan gelap mulai menyelimuti hutan itu, membuat Wira harus ekstra waspada di setiap langkahnya.

Malam perlahan tiba. Suasana hutan yang mencekam menyelimuti mereka dalam keheningan yang berat. Suara-suara binatang malam mulai terdengar, dan angin berhembus dingin di antara pepohonan. Wira merasa kepayahan, namun ia tahu bahwa berhenti terlalu lama di hutan bukan pilihan. Ia harus segera membawa Mursiyam ke tempat aman. “Kau masih nyaman di sana?” tanya Wira untuk memastikan keadaan Mursiyam, namun yang ia dengar hanyalah jawaban lirih, “Iya.” Suara Mursiyam terdengar semakin lemah, seolah tenaga dan semangatnya mulai terkuras habis.

Setelah beberapa lama, Wira akhirnya menemukan sebuah pohon besar yang sedikit terbuka, membentuk tempat berteduh yang cukup terlindung dari pandangan luar. “Kita istirahat di sini sebentar, ya,” ucap Wira sambil menurunkan Mursiyam dengan hati-hati, lalu membantunya bersandar pada batang pohon. Ia membuka kantong kecil yang dibawanya, berharap masih ada sedikit bekal yang bisa ia berikan. Ditemukanlah sepotong singkong rebus yang mulai berubah warna dan sedikit air yang ia simpan sebelumnya. “Makanlah, ini mungkin tidak banyak, tapi setidaknya bisa sedikit mengisi tenaga,” ucapnya sembari menyodorkan singkong rebus itu kepada Mursiyam.

Mursiyam menyambut singkong itu dengan tangan gemetar, perlahan-lahan menggigitnya sambil sesekali mengucek matanya. “Maaf, Wira. Aku jadi menyusahkanmu,” bisiknya lemah. Wira hanya menggeleng, mencoba menyembunyikan kelelahan yang mulai menghantui tubuhnya sendiri. “Tak usah memikirkan itu. Sudah tugasku menjaga keselamatanmu,” jawabnya sambil tersenyum tipis. Dalam hatinya, Wira mengenang janjinya kepada Pardi, sahabatnya yang sudah tiada. Pardi sudah banyak membantunya, menjaga Mursiyam seperti sebuah kepercayaan yang begitu besar dan Wira bertekad untuk menunaikan janji yang dibuatnya sendiri.

Di tengah keheningan malam, Wira mendengar suara-suara aneh yang berbisik dari kejauhan. Hatinya tersentak, dan ia segera mengamati sekeliling dengan seksama. Suara itu terdengar seperti langkah-langkah berat yang menginjak dedaunan kering, semakin lama semakin mendekat. Wira sadar, para eksekutor mungkin masih memburu mereka. Dengan hati-hati, ia menoleh ke arah Mursiyam yang mulai terlihat mengantuk. “Mursiyam, kita harus pergi lagi,” bisiknya sambil mengguncang bahunya pelan. Mursiyam membuka matanya yang lemah dan mengangguk tanpa banyak bicara.

Lihat selengkapnya