Beberapa bulan yang lalu.
Andi melihat arah timur Masjid pesantrennya. Pesantren tempat dia selama ini menuntut ilmu hingga jenjang perguruan tinggi. Dia mencuri pandang ke arah salah seorang perempuan dengan cadarnya. Entah kenapa, setiap kali mereka bertemu, Andi ada debaran yang tak biasa. Inikah cinta?
Dia sendiri tak mengerti, kenapa cinta datang begitu saja? Dia ingat betul ketika pertama kali bertemu dengan wanita itu. Terlihat dari sorot matanya yang begitu indah, telah berhasil membuatnya jatuh hati. ditambah lagi, dia adalah seorang wanita yang begitu menyayangi anak-anak. Beberapa kali Andi memergoki perempuan bercadar itu begitu telaten mengajari anak-anak mengaji.
“Andai saja aku bisa mengutarakan cinta ini padanya. Tapi, apakah dia mau menerima cinta dari anak yang tidak jelas siapa orang tuanya? Ummi Hanum tak pernah aku pandang wajah dan senyumannya satu kali saja.” Andi langsung menatap langit. Dia merindukan sosok ibu yang telah lama pergi. Tak terasa, air mata itu jatuh begitu saja tanpa Andi minta.
‘Ummi, kenapa Ummi pergi secepat itu? Apa salahku?’ Andi tak ingin berlama-lama di tempat itu. Dia sendiri berjalan dan tak peduli dengan apa yang menjadi bahan gunjingan atas dirinya.
Dia sendiri hanya bisa diam dan menahan semua sakit. Banyak yang mengatainya anak haram dan anak pembawa sial. Apa salahnya sehingga banyak orang berkata demikian?
“Andi, kau kenapa?” Beberapa orang temannya datang melihat Andi yang menahan tangis. Andi hanya menggeleng. Dia tak mau lagi mendapat ejekan setelah semua ejek dan olok-olok yang selama ini diterimanya.
“Eh, kalau kau gak ada apa-apa, kenapa kau sepertinya menahan tangis. Ada masalah kau? Masih baper dengan kata-kata orang sekitarmu?”
“Enggak.”
“Ah cemen kau. Gitu aja baper.” Andi sama sekali tak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh Imam. Dia sendiri memilih langsung menghindar dan pergi demi tak mendengar semua yang menyangkut dirinya juga mendiang umi.
Imam sendiri tak tinggal diam. Dia mengejar Andi yang sepertinya memendam sesuatu. Dia ingin tau apa yang sebenarnya Andi pendam. Dia yakin, tangisan Andi kali kali ini bukanlah tangis biasa. Ada hal lain di balik tangisan itu.
“Andi, main pergi aja. Aku belum selesai bicara.”
“Kau mau bicara apa lagi? Belum puas kau selama ini mengejekku?”
“Ih, gitu aja baper. Jangan baper dong!”
“Cepetan! Mau bilang apa kau?”
“Kau kenapa sih? Kenapa kau menangis? Cemen banget kau.”
“Terus saja kau mengataiku seperti itu. Apa salahku selama ini? suka sekali kau buat gara-gara.” Andi sendiri mulai tersulut emosi dengan apa yang dikatakan Imam yang terus-menerus membuat dirinya terpojok.
“Biasa aja kali. Eh lagi pula, aku cuma mau tanya, kenapa kau menangis? Kayaknya gak ada asap kalau ada api. Jujur aja kalau kau ada masalah lain selain apa yang dikatakan oleh semua orang yang ada di sekitar sini.”